"Cita-cita ingin berilmu sama, tapi situasi dan kondisi yang tidak sama"
Cukup lama tidak mengisi tulisan di akun kompasiana. Bukan karena tidak ada cerita, sebenarnya banyak pengalaman yang berkesan dan bisa dituliskan. Namun, Â penyakit 'malas nulis' kambuh.
Kali ini aku akan berbagi cerita, lagi-lagi tentang sekolah pelosok yang kondisinya sangat memprihatinkan. Entah kenapa, moment nya selalu di bulan Juli pas berdekatan dengan Hari Anak Nasional lagi, seperti tahun kemarin yang juga bulan juli ke sekolah pedalaman SD Sorongan yang harus menyebrang menggunakan 'getek' untuk sampai kesana.Â
Dan sekarang pun, Juli 2019 aku bersama teman-teman relawan mengunjungi sekolah pedalaman yang sangat jauh, terpencil, rusak parah, dan rasanya pas nyampe sana seperti di film laskar pelangi, Belitong. Padahal bukan, ini di tanah kelahiranku di Banten, tepatnya Kabupaten Pandeglang.
Maafkan, bukan bermaksud lagi-lagi memunculkan potret pilu Pandeglang. Setelah sangat ramainya orang-orang membicarakan berita guru honorer di Pandeglang yang tingal di WC. Ah, sayang sekali harus seramai itu dulu baru banyak yang membantu.
 Apakah empati dan peduli sudah mati di lingkungan terdekat kita? Sehingga banyak yang berpikiran harus viral agar banyak yang membantu, kalau tidak ramai diabaikan saja. Tidak penting. Kalau sudah ramai baru penting dan berlomba-lomba untuk membantu. Agar tidak malu daerah nya. Banyak juga yang kondisinya mungkin lebih memprihatinkan tapi tidak disorot media jadi ya tidak dibantu. Tidak perlu. Tutup mata saja. Aku kok sedih sama fenomena ini.
Kembali ke topik ya... maaf, hehe
Agak kecewa, padahal udah excited banget mau nyebrangin motor pakai perahu. Wwkwkwk.... harusnya bersyukur ya. Allah beri kemudahan. Hehe.. dasar. Padahal warga mengeluhkan akses susah, kalau laut pasang tidak bisa dilalui kendaraan. Sulit menyebrang, ke pasar saja jauh, menjual hasil panen juga jauh.