Mohon tunggu...
Eeduy Haw
Eeduy Haw Mohon Tunggu... -

seseorang yang tinggal di makassar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Direct Messages untuk Akunnya Bapak Walikota Terpilih Makassar

30 Januari 2014   08:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:20 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Assalamualaikum, Pak Danny Pomanto & Dg Ical,

Bukan kebetulan sewaktu ini ditulis, durian, rambutan serta tentu saja hujan lagi deras-derasnya di kota kita. Memang sedang musimnya. Sama seperti Jakarta. Hujannya maksudnya. Malah di sana lebih parah. Itu yang kita lihat di pemberitaan. Bahkan pemimpin sekelas Jokowi-Ahok pun yang dipuja-puji ketika memimpin Solo dan Belitung Timur itu terpaksa mengakui bahwa parahnya kondisi Jakarta saat ini membuat keduanya merasa butuh proses tahunan untuk bisa betul-betul merampungkan program rehabilitasinya. "Kita butuh waktu, kita harus belajar agar tidak mengulang kesalahan yang pernah dilakukan kota-kota di negara maju pada masa silam," kira-kira begitu jawaban yang diberikan kepada wartawan. Soal banjir jakarta kita semua tentu turut prihatin. Tapi bukan berarti kita juga ikut-ikutan lengah, bahwa sendainya didiagnosa, kota ini tampaknya mengalami fase gejala awal serupa yang dulu pernah dirasakan Jakarta. Seumur-umur tinggal di kawasan Kecamatan Panakkukang, sekonyong-konyong rasanya baru beberapa tahun terakhir ini bisa menyaksikan Jalan A.P. Pettarani depan Ramayana-Pizza Hut ataupun belakang Kantor PU itu akhirnya rutin tergenang juga. Padahal hujan derasnya baru datang sehari. Lalu, lampu merah Tugu Adipura depan PLTU menuju timur hingga depan M'tos, sepertinya sudah punya jadwal macet tetap. Jembatan Sungai Tello yang berada di tengahnya, juga sudah tampak kekecilan menampung volume kendaraan yang lewat. Lebih kelihatan seperti selang yang tersumbat. Daerah-daerah yang tadinya resapan, satu-persatu berganti menjadi rumah toko atau kalau tidak rumah-rumah seragam milik pengembang. Depan STIMIK kawasan Perintis Kemerdekaan yang tadinya hamparan padang rawa membentang hingga ke belakang hutan pohon nipah, begitu cepatnya tertutup deretan toko-toko dan rumah bernyanyi. Perilaku berkendaraan di kepadatan jalan juga makin laju, tapi ajaibnya makin masa bodoh juga dengan rambu-rambu apalagi etika. Saling salip adu gesit di tengah antrian entah di kejar apa. Meski tahu kalau sampai hari ini science belum mampu melahirkan ilmuwan penemu nyawa. Masa sih tuntutan roda ekonomi sampai nekat-nekatan seperti itu. Kultur-sosial kita juga demikian. Makin absurd. Contoh pemandangan saudara-saudara yang kerap hadir di lampu merah. Ini soal usang, tapi faktanya masih susah menemukan jalan keluar yang tepat. Malah kok tampilannya makin muda-muda, sepintas lalu badannya kayak sehat-sehat saja. Ini realitas di baliknya apa lagi? Apa ini kisah tentang pemulung Jakarta yang mampu punya uang simpanan puluhan juta di dalam gerobak ataukah memang benar karena tak ada pilihan? Tapi, masa sih sampai bilik ATM di pinggir jalan dipatok juga jadi lahan parkir dengan modal cuma sempritan, minus seragam apalagi karcis. Kalau kakek-kakek atau ibu-ibu masih mending, ini anak belasan yang dadanya tegap. Data statistik menyatakan tingkat pertumbuhan ekonomi peradaban kota kita tergolong tertinggi dalam klasemen nasional. Bolehlah kita berbangga. Bilamana persoalan sosialnya masih itu-itu lagi, ya tetap saja namanya ironi. Cerita klasik, ketika kota dengan kaki kanannya adalah geliat investasi bisnis yang agresif, tapi kaki kirinya masih susah mengasah kepekaan apalagi memberdayakan panti-panti sosial dengan layak. Cerita tentang ketimpangan. Klise. Senang sekali, punya area publik keren macam Anjungan Pantai Losari dan Taman Rotterdam. Tapi rumor yang berhembus akan ketidaknyamanan pengunjung terhadap pedagang dan pengamen yang lebih mirip mengekori ketimbang menawarkan produk. Ekspektasi psikis pengunjung yang datang tentu cari ketenangan, bukan mengharapkan ketemu teror. Tentu perlu lebih dipikirkan jalan tengahnya. Mungkin seperti strategi yang terdengar dilakukan di Surabaya. Tak perlu sampai hati menghilangkan, cukup penataan. Boleh jualan, tapi ngetem di satu sudut. Boleh ngamen tapi jangan datangi pengunjung. Pilih satu titik, nanti terserah orang yang datang atau melintas mau menyisihkan koin apa tidak. Itu terserah apresiasi masing-masing. Tapi kita tentu saja salut, dengan ide pemikiran pengembangan kota hijau. Penguraian faktor magnet kepadatan kota yang terpusat di kawasan Losari yang rencananya disebar ke beberapa penjuru kota. Lebih-lebih rencana rehabilitasi kanal-kanal kembali kondusif yang konsepnya bisa sebagai saluran transportasi alternatif dan wisata kota. Ide progresif dan kreatifitas yang adil bagi semua pihak memang adalah kebutuhan mutlak agar kota bisa tumbuh secara sehat. Kagum, ternyata bapak walikota kita punya akun twitter juga. Mungkin kalau ketemu wartawan TV dan Koran, akunnya disosialisasikan saja biar followernya bisa dari seluruh lapisan warga. Keep in touch dengan warga itu penting. Hitung-hitung bisa mengikis kendala sulitnya akses komunikasi warga dan pemimpin. Paling tidak fungsinya bisa sebagai salah satu cermin, "apa sih keinginan warga riil sebenarnya?" Bukan hanya dijejali bisik-bisik orang-orang sekeliling yang mudah-mudahan bukan kompor-kompor jilatan 'asal bapak senang'. Apalagi maksud kapitalis terselebung pengusaha-pengusaha yang tipikal cuma bisa mikir laba segunung buat perut sendiri. Sekali lagi, awalnya hanyalah agresifitas monopoli terhadap kue pembangunan disertai deru investasi bisnis tanpa perhitungan demi sebuah nama "kemajuan". Lalu datanglah lonjakan penduduk, dimana ada gula disitu ada semut. Mengorbankan lahan kosong, daerah resapan apalagi tanah pertanian. Sebab setiap manusia butuh tempat untuk bernaung dari yang mewah sampai kelas tripleks. Jalanan semakin terasa sesak. Setiap persimpangan berubah menjadi biang kemacetan. Bau tanah hilang berganti aspal atau pavin block. Air tak lagi bisa cepat meresap. Saluran got dan kanal makin kewalahan. Kepadatan melahirkan kompetisi yang terlampau sengit. Akan ada banyak ijazah-ijazah yang menjadi penghias lemari. Maka ketimpangan tanpa kepekaan sosial hanyalah melahirkan kriminalitas. Kita tentu tak pernah mengharapkan kota kita mengarah menyerupai Gotham City yang setiap saat diliputi perasaan mencekam. Tak lucu kiranya membayangkan Dg Kulle mengganti seragam dengan kostum hitam-hitam bersayap kelelawar, mencoba menjadi Batman yang membekuk tukang hipnotis atau mengejar geng motor yang statusnya masih kreditan bapak. Kita tentu memilih sosok yang terbaik ketika berada di balik bilik itu. Kiranya, tidak salah picca ji walikota ke depan adalah ahli desain tata kota. Anjungan dan reklamasi pantai masih soal fisik semata, kita medambakanu kemajuan pembangunan yang sepaket dengan peningkatan kultur-sosial-religi yang lebih humanis. Sebab kota yang ideal bukan soal seberapa banyak pencakar langitnya, tapi seberapa nyaman dan aman warganya. Terima kasih dan selamat bekerja bapak walikota serta wakil nantinya. * * *Kampung Pettarani, Makassar 29 Januari 2014 Sore-sore hujan, ketika iseng ketemu akun twitternya bapak @DP_dannypomanto. sumber foto: "arsitektur manusia hari ini" eeduyhaw

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun