“Kesabaran akan selalu berbuah manis...”
Demikian tertulis di dinding akun jejaringnya orang. Punya siapa? Seronok kalau identitasnya dibuka-buka. Di samping tentu saja kurang ajar, juga kurang kerjaan. Potensi efeknya, cuma menambah daftar panjang nama orang-orang yang dibuat jengkel. Lagipula, bukan orangnya yang penting. Kalimatnya.
“Kesabaran akan selalu berbuah manis...”
Dibaca kedua kali, hmm... ya... oke. Maksud yang bijak.
“KESABARAN AKAN SELALU BERBUAH MANIS...”
Nah, baru setelah yang ketiga, setelah menerawang lebih saksama demi memenuhi rasa penasaran stadium akut, hingga lebih cocok disebut 'kemasukan' daripada 'penasaran', setelah secara tampilan lebih 'ilmuwan' ketimbang ilmuwan itu sendiri, ibarat kata menerawang adalah nongkrong 7 hari 7 malam dalam laboratorium hanya karena tak ingin kecolongan sekedipan-mata aktifitas makhluk bintik-bintik super-kecil di balik teropong lensa kaca mikroskop, sampai-sampai saking seriusnya, astagafirullah... huruf-huruf pada kalimat itu sekonyong-konyong tiba-tiba saja 'bengkak' jadi kapital semua, yang sebabnya tak tahu apa, karena itu makin dilematislah keyakinan; apakah benda berstruktur lumayan ribet bernama mikroskop ini memang benar 'alat vital' ajaib untuk 'memperbesar sesuatu'; ataukah ini semata-mata fatamorgana otak akibat reduksi endapan sisa cairan alkohol semalam; ataukah ada makhluk halus yang melintas tanpa sengaja mengakibatkan keanehan pada huruf-huruf di kalimat itu; kiranya diperlukan pertolongan langkah berfikir lebih runut, dan tentu saja pertolongan pertamanya tak lain dan tak bukan mengakhiri sekerumunan barisan kata-kata yang lebih mirip kekacauan paragraf daripada satu kalimat utuh ini dengan tanda baca: titik.
Menggumam akhirnya dalam hati, “Hmm... kayak ada yang ganjil memang kalimat ini?”
Pertanyaan ganjilnya begini, kalau setiap kesabaran selalu berbuah manis, bagaimana jika ada kesabaran yang tidak berbuah manis? Trus, semakin ia sabar tetap saja kesabaran itu gak manis-manis? Bahkan gak berbuah-buah sama sekali? Trus, bagaimana jika yang menentukan apakah kesabaran itu dibuahi atau tidak, memang sengaja memilih orang yang melakukan kesabaran itu agar gak dibuahi yang manis-manis demi membuktikan sejauh apa kesabarannya? Malahan yang pahit? Kalau perlu sekalian saja gak dibuah-buahi? Biar tambah bingung. Atau yang menentukan buah itu bilang begini, “Situ mau sabar apa kagak, ora urus, gak kenal!” Biar lebih bingung lagi.
Nah, kalau sudah begitu, apa sebenarnya kesabaran itu? Maksudnya, adakah hubungan antara sabar dengan buah? Wuaah... mulai ribet. Maksudnya, toh sabar gak bakal berbuah-buah juga, tidak sabar gak berbuah-buah juga, jadi sabar yang mana?
Apakah sabar itu harus digagahi...eh... anu...dibuahi? Apakah sabar yang tak berbuah itu bukan sabar? Bukankah buah dari kesabaran yang wujudnya tak berbuah itu adalah "buah" juga? Hanya saja dibacanya buah pakai tanda kutip? Terakhir apa hubungannya sabar dengan pepatah 'buah jatuh tak jauh dari pohonnya'?
Yang jelas Kesabaran itu berjodoh dengan obsesi. Keduanya sukar dipisahkan. Bersisi-mata-uang-logam-lah kurang lebih istilahnya.
Sementara, obsesi itu pada dasarnya keinginan yang belum terealisasi. Tentu, dibutuhkan usaha untuk mewujudkan.
Usaha pertama dilakukan. Hasilnya gagal, sebab tolol. Ada usaha kedua.
Usaha kedua nyaris. Nyaris bikin frustasi. Ada usaha ketiga.
Nah, usaha ketiga replay. Siaran ulang dari usaha pertama dan kedua.
Maka selain usaha, harapan juga perlu ikut nimbrung ambil bagian. Hanya saja harapan itu konsep absurd yang lumayan tidak konkrit. Bertandemlah harapan dengan kesabaran. Tandem yang serasi. Pasangan sejoli.
"Sedikitpun, kesabaranku takkan pernah surut mengharapkanmu," kalimat yang romantis. Ini bukti kalau kedua kata ini memang jodoh. Cuma, siapa memerankan sebagai tulang rusuk kiri kurang tahu. Tapi sesungguhnya, sebaik-baik kesabaran adalah KESETIAAN."
Sempurna spekulasi teori terburu-buru ini. Bisa jadi hanya karena terinspirasi dari fenomena alam “Badai pasti berlalu. Meski pelan, awan gelap pasti beranjak. Langit bakal cerah kembali. Esok matahari akan mengintip lagi. Dan pelangi akan membentang indah di langit biru.”
Pas memang sebagai selimut hangat, pelipur lara disaat semangat nyaris membatu jadi fosil purbakala.