Mohon tunggu...
Edy Utama
Edy Utama Mohon Tunggu... -

Hobby baca...baca apa saja..baca situasi...baca kompasiana juga, I love it..

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Masih Ingin Waras

20 November 2009   21:42 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:15 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Minggu ini sudah menginjak tahun kedua buat Tom, menjalani masa kuliah di jurusan teknik mesin, sebuah universitas negeri di Semarang. Seratus dua puluh kilometer, jarak yang cukup jauh telah memaksanya untuk tinggal di rumah kos, sepetak kamar berukuran 3x2.5. Lumayan lah tidak terlalu bagus memang, ia tahu betul kemampuan ekonomi pas-pasan keluarganya, merasa orang tuanya telah berusaha memberi yang terbaik.

Otaknya cukup cemerlang, tapi masuk jurusan ini bukanlah keinginannya. Kedua orangtuanya tidak pernah memaksanya sebenarnya.

Cari kuliah yang cepat selesai! Gampang cari kerja. Coba lihat tuh, tetangga kita, si fulan anak si anu, lulus insinyur, langsung dapat kerja enak, gaji besar. Kalau bisa janganlah bercita-cita jadi dokter, nanti setelah lulus hidupnya susah. Bisa bisa dikirim PTT ke pelosok hutan di Kalimantan sana, habis itu jadi pegawai negeri hidup pas-pasan. Demikian saran kedua orang tuanya. Kalau ingat hal ini, ia tersenyum sendiri, senyum getir, kesulitan hidup agaknya telah membuat kedua orang tuanya sedemikian pragmatis.

Herannya tak sepatah katapun ia sanggah mereka saat itu, keinginannya dia pendam saja dalam hati. Ia maklum ia mafhum, ini semua pasti bisa dijalaninya. Saat dianjurkan memilih jurusan teknik yang cepat lulusnya, iapun mengiyakan.

****

Minggu minggu terakhir ini ia merasa perbedaan dengan teman-temannya makin tajam saja. Kalau teman-temannya yang lain lebih suka bergerombol dan mengobrol kesana-kemari, dia lebih suka menyendiri. Melamun di pojok gang menuju ruang kuliah terasa lebih nikmat buatnya, daripada berkomplot chit chat dengan mereka. Di saat kuliah berlangsung, ia juga merasakan perbedaan, hampir semua temannya antusias bertanya, juga mengemukakan pendapat. Ia sendiri asyik dengan pikirannya, topik topik kuliah ini tidak bisa menarik hatinya. Teman-temannya seolah berlomba menunjukkan kepintarannya, sebagian asal berpendapat asal tanya, tak ada beban. Tom merasa berada di tempat yang salah. Ia tidak bisa, kali ini entah mengapa ia tidak mampu, berinteraksi dengan ini semua, konsentrasinya lenyap tiap kali dia mendengar suara teman-temanya. Ia tidak bisa lagi konsentrasi. Tidak bisa.

****

Setelah makan malam di warung tak jauh dari rumah kost-nya, Tom mengetuk kamar sebelah kamarnya. Kamar calon psikolog yang telah memasuki tahun ketiga kuliahnya, di universitas yang sama. Tak menyia-nyiakan kesempatan, ia mulai mengkonsultasikan apa yang dia rasakan.

saya sakit apa ya, kira-kira?” sulit dibedakan antara berkeluh kesah atau bertanya, ungkap Tom kepada temannya itu. “perasaan, mau ngapain aja kok nggak semangat, kepala ini nggak bisa diajak kerja sama, tapi kalau makan ya tetap enak, masuk angin nggak!, demam nggak!” sambungnya.

kamu menyiksa dirimu sendiri, you humiliate your self” calon psikolog itu menatap Tom dengan santai.

maksudnya?”

yang kamu alami ini apakah bukan sugesti saja, artinya terbawa oleh masalah lain. Apakah transfer jatah bulananmu telat?”

nggak tuh, transfer lancar aja. Saya merasa tertekan, jiwaku tidak disini, saya merasa melakukan hal yang sia-sia, hidupku kok terasa hampa”

jangan-jangan dulu waktu kecil kamu pernah jatuh, terus kepalamu terbentur, atau waktu kecil pernah step?”

sembarangan”

Kali ini sang calon psikolog mulai terlihat serius. Setelah itu bagai air bah kali garang di musim penghujan, Tom mencurahkan permasalahannya dari awal hingga akhir, betapa ia telah mengingkari cita-cita dan keinginannya demi membahagiakan orang tua.

Tom, kamu harus kuat. Jangan cengeng maksud orang tamu itu baik, carilah alasan terbaikmu, perbaiki tekadmu, good man in the right palace, kamu pasti akan jadi seperti yang dicita-citakan orang tuamu”

hidup toh tidak selalu sempurna” pungkasnya bijaksana.

****

Satu bulan Tom bolos kuliah, pulang kekampung menenangkan diri, mengikuti rekomendasi calon psikolog hebat kawannya, bersibuk ria dengan suasana pegunungan, melamun di tepi kali serayu, memandangi kabut pagi hari gunung sindoro, berjalan-jalan mengitari pematang sawah yang kelilingi kampungku. “libur tengah semester” kilahnya saat ditanya orang tuanya.

Sekembalinya, tak dilihatnya teman psikolog intelek di rumah kost. Kamarnya selalu tertutup. Saat ia tanyakan kepada pak Sastro tua penjaga rumah, dengan serius dia menjelaskan, “dia dijemput orang tuanya mas, dua hari yang lalu”

Lho kok bisa?'

Mas tahu, tahu khan dia punya pacar?

Tahu,...cantik!!”

Bukan itu maksudku, pacarnya meninggal ketabrak motor saat demo di depan gedung DPR, dua hari setelah mas pulang kampung”

Lha terus”

Seminggu setelah pacarnya itu dimakamkan, dia nggak pernah keluar dari kamarnya. Setelah dua hari nggak kelihatan, bapak tengok ke dalam kamarnya, dia diem aja membisu, matanya merah, cekung”

stress?'

persis”

Lha kok bisa”

ya bisa saja wong manusia” lanjut pak Sastro.

Lha kok bisa, psikolog khan nggak boleh stress, wong tugasnya ngobati orang stress”

ya sama saja mas, emang psikolog superman, biar dokter apa trus nggak boleh sakit?” pak tua itu melanjutkan, “orang tuanya kemarin nelpon kesini, sekarang dia di rawat di rumah sakit jiwa, gangguan psikologis katanya, shock berat”

Tom tercekat mendengarnya, cermin besar terpapar didepannya, ia merasa permasalahannya seolah sehelai kapuk randu ditiup angin. Akal sehatnya tidak bisa mencerna ini semua. Semua teori psikologi tidak mampu mencegah dan menolong kawannya, ironis.

Hening, mereka berdua terdiam sejenak. Kemudian, Tom menggumamkan tanya.

pak kalau menurut panjenengan...saya gimana, masih waras khan?”

...dan tiba-tiba saja hidung pak Sastro mengendus bau tak sedap dari bau tubuh Tom yang sudah satu bulan ini tak tersentuh air mandi.

keep insane is requisite, keep fight is a right...Kuwait, 21 November 2009

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun