Mohon tunggu...
Edy Santoso
Edy Santoso Mohon Tunggu... -

jujur sejak di hati adil sejak di pikiran

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Tiga Nasehat Ayah

24 April 2010   03:48 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:37 712
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

HIDUP BUKAN HANYA TENTANG APA YANG KITA MILIKI.

Dia tak punya rumah, tak punya ibu, tak punya uang.Tak banyak yang dimiliki bocah itu dalam hidupnya. Dia hanya punya seorang bapak, satu-satunya harta terindah baginya. Bapaknya tak pernah memukulnya meski dia tidak bisa memperoleh uang sepeserpun dari hasil menyemir. Bapaknya selalu merelakan nasi bagiannya untuk dimakan anaknya meski dia harus tersiksa rasa lapar seharian. Sahabatnya pernah bilang dia selalu mendambakan seorang bapak seperti itu. Dan bocah itu selalu bilang pada sahabatnya

"Kenapa tidak? Mulai sekarang bapakku adalah bapakmu juga."

Bagaimana dengan nyawanya? Apa dia benar-benar memilikinya? Suatu saat Bayangan Iblis bisa saja menemukannya dan nasibnya akan sama dengan anak-anak jalanan yang lain. Sampai sekarang dia merasa beruntung karena dia masih bernapas. Tapi sampai kapan keberuntungan berada di pihaknya? Dia tidak pernah tahu. Namun jika keberuntungannya habis dan dia berhadapan dengan Bayangan Iblis akankah dia memberikan tubuh dan nyawanya untuk Bayangan Iblis?

Bocah itu menepuk seekor nyamur di lengannya. Cipratan darah menitik di sana dan nyamuk itu terjatuh di lantai gerbong. Bocah itu kembali bertanya dalam hati apakah tubuh dan nyawa ini miliknya? Dia menggelengkan kepala. Jika memang benar miliknya dia bisa mati dan hidup sesuka hatinya. Jika ibu benar-benar miliknya dia bisa menyuruh ibunya yang sudah lama mati untuk hidup saat ini juga. Kenyataannya dia tidak bisa. Dia tidak mungkin melakukannya. Jadi bagaimana dia bisa memberikan sesuatu yang bukan miliknya untuk orang lain yang memintanya? Tidak. Dia tidak bisa memberikan tubuh dan nyawa ini untuk Bayangan Iblis.

Tiba-tiba bocah itu tersenyum. Malam ini dia memahami satu hal bahwa tak ada yang benar-benar dimilikinya dalam hidup ini. Dia memandang bapaknya dengan sendu. Demikian juga bapaknya. Suatu hari nanti bapaknya akan mati entah karena batuk kronis yang dimilikinya, atau digebuk satpol PP, atau tertabrak kereta api, atau mungkin diam-diam mati dalam tidurnya. Dia tak pernah tahu. Jadi mungkin begitu maksud bapaknya. Karena tidak ada yang benar-benar dimiliki dalam hidup ini maka dia harus iklas saat dia kehilangan sesuatu dalam hidupnya.

Entah kenapa bocah itu merasa lega. Mungkin karena peta buta di kepalanya mulai terbuka dan dia menemukan arah yang tepat untuk memahaminya. Meski dia harus memulainya dari nasehat ketiga. Sekarang dia tidak takut lagi. Dia sudah lama berjuang untuk hidup maka tidak ada alasan untuk berhenti berjuang meski dia harus berhadapan dengan Bayangan Iblis.

Malam itu bocah itu tidur dengan nyenyak. Tak pernah selelap itu dalam hidupnya. Meski dia tahu masih ada dua nasehat lagi yang harus dia pelajari. Dia tidak peduli berapa lama dia butuhkan untuk memahaminya. Mungkin besok atau lusa atau bahkan puluhan tahun lagi dia tidak peduli. Jika dia mati dulu sebelum sempat memahami ketiga nasehat bapaknya, itu bukan suatu kegagalan hidup. Dia yakin saat dia mati sebenarnya dia menuju kepada semua jawaban yang berada di atas sana: ke tempat Pemilik Sejati jiwanya. (tulisan ini juga saya tulis di http://edytj.wordpress.com)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun