Mohon tunggu...
Edy Suryadi
Edy Suryadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Ketua Umum Rumah Kebangsaan Pancasila

Inner Life is The Real Life

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Era Manusia Mempertumpahkan Darah

3 Desember 2016   00:27 Diperbarui: 3 Desember 2016   01:01 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".  (QS. Al-Baqarah [2]:30)

Sebagaimana yang telah kita bahas sebelum ini bahwa meskipun tidak sepenuhnya benar, tapi kekhawatiran para malaikat prihal manusia yang akan membuat kerusakan dan pertumpahan darah di muka bumi adalah sangat berdasar. Manusia memang mempunyai potensi merusak dan mempertumpahkan darah yang besar. Dan dari catatan sejarah panjang perjalanan peradaban umat manusia kita melihat kebenaran akan hal itu. Tidak terhitung sudah banyaknya kerusakan yang disebabkan oleh tangan manusia baik di darat maupun di laut. Tidak terhitung pula banyaknya manusia yang mati dan ditumpahkan darahnya oleh sesama manusia itu sendiri. Telah berlangsung masa yang begitu panjang; beribu-ribu tahun lama di sepenjang sejarah peradaban manusia dimana perang menjadi sebuah budaya hidup umat manusia. Perang telah menjadi sebuah mesin pertumpahan darah yang amat hebat. Bahkan nyaris tidak pernah kita temukan satu bagian waktu dari sejarah panjang peradaban manusia yang telah berlangsung ini dimana perang abstain dari kehidupan umat manusia. Kita boleh meneliti dan mencari pernahkah ada suatu waktu dimana tidak ada peperangan terjadi di muka bumi ini? Perang telah menjadi kisah setiap bangsa dan juga setiap agama di seluruh belahan dunia. Kita selalu nyaris pasti dapati di buku-buku sejarah manapun yang ada di dunia ini hari ini kisah perang di dalamnya. Bahkan di semua kitab suci agama-agama yang kita kenal hari ini, selalu ada kisah perang di dalamnya. Ini menjadi bukti betapa tidak sepenuhnya salah memang prediksi para malaikat tantang potensi membuat kerusakan dan menumpahkan darah yang ada pada diri manusia.

Katakanlah: "Dialah yang berkuasa untuk mengirimkan azab kepadamu, dari atas kamu atau dari bawah kakimu atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan dan merasakan kepada sebahagian kamu keganasan sebahagian yang lain. Perhatikanlah, betapa Kami mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami silih berganti agar mereka memahami".  (QS. Al-Anaam [6]:65)

Benar-benar telah berlangsung suatu masa yang amat panjang di dalam peradaban umat manusia ini sebuah era dimana manusia harus merasakan keganasan manusia lainya. Kita menamai era tersebut dengan nama era imperialisme. Era imperialisme ini mempunyai dua model dan bentuk. Era imperialisme kuno, yaitu suatu era penaklukan dan pendudukan bangsa atas bangsa yang dilandasi oleh penyebaran agama dan keyakinan; yang mana era ini bahkan telah berlangsung sejak zaman para nabi. Kemudian era imperialisme modern. Era imperialisme modern adalah era penaklukan dan pendudukan bangsa atas bangsa yang dilandasi oleh kekuasaan dan pencarian sumber daya alam. Era ini berlangsung sejak dimulainya revolusi industri. Terlepas dari apapun yang mendasari masing-masing era imperialisme tersebut, satu yang pasti di dalamnya selalu amat diwarnai oleh peperangan dan pertumpahan darah. Dimana bahkan dapat kita katakan bahwa pada masa itu mahluk yang paling berbahaya bagi manusia adalah manusia lainya. Pada era itu manusia benar-benar merasakan keganasan satu sama lainya.

Era imperialisme ini dapatlah kita sebut ia sebagai era kegelapan bagi umat manusia. Dapatlah kita sebut ia sebagai era zahilyahnya umat manusia. Dapatlah kita sebut ia sebagai era perbudakan manusia atas manusia dan bangsa atas bangsa. Di era ini unsur kebinatangan manusia masihlah begitu tinggi.  Umat manusia masih hidup dengan mengambil pola seperti binatang yang saling memangsa satu sama lain. Berlakulah hukum rimba di masa itu dimana mereka yang kuat maka dialah yang berkuasa. Sedangkan mereka yang lemah mau tidak mau, suka tidak suka harus menanggung derita menjadi pelayan bagi mereka yang kuat. Di era ini perang menjadi sebuah jalan hidup yang mulia bagi manusia dan bahkan ia adalah jalan mencapai keagungannya suatu bangsa. Semakin besar penaklukan yang berhasil dilakukan suatu bangsa menjadi semakin agunglah bangsa tersebut dipandang. Tidak pelak lagi penderitaan pun menjadi warna dominan dalam kehidupan umat manusia di era tersebut. Tidak ada yang namanya kesenangan dan kebahagiaan bersama; tidak ada yang namanya kemenangan dan kemerdekaan bersama; tidak ada yang namanya kedamaian dan kesejahteraan bersama. Karena segala kesenangan, kebahagiaan, kemenangan, kemeredekaan, kedamaian dan kesejahteraan harus didapat dan diraih di atas penderitaan manusia dan bangsa lain. Memenangkan golongan dan bangsanya di atas golongan dan bangsa lain serta menaklukan golongan dan bangsa lain di bawah kekuasaannya adalah doktrin yang melekat di dalam otak dan jiwa manusia di masa itu.

Budaya perang sejatinya bukanlah bagian dari kemanusiaannya manusia. Ini bukanlah fitrah hidupnya umat manusia. Sejatinya manusia itu adalah hidup bersatu, bersaudara, berkasih-sayang, saling menjaga, saling menguatkan dan saling menolong satu sama lain. Manusia tidaklah diciptakan oleh Allah untuk saling membunuh, saling menyakiti ataupun saling mencurangi satu sama lain. Budaya perang menjadi sebuah tanda bahwa masih tingginya dominasi tabiat hewani di dalam diri manusia. Namun demikian dapatlah kita maklumi bagaimana perang ini telah menjadi bagian yang amat panjang dalam sejarah peradaban umat manusia. Semua ini memanglah bagian dari proses pembelajaran untuk umat manusia itu sendiri. Sebagaimana kita pahami dari surat Al-Anaam ayat 65 di atas, semua memanglah merupakan bagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah. Agar semua itu manusia belajar sesuatu. Agar manusia memahami betapa tidak beradabnya sebenarnya budaya perang itu. Betapa sangat merusak dan merugikannya budaya saling takluk menaklukan itu. Kisah peperangan; pertumpahan darah antar manusia yang berlangsung amat panjang itu; yang telah menimbulkan kerugian dan penderitaan itu, tentulah tidak boleh lewat begitu saja tanpa sebuah pembelajaran yang kita petik darinya. Sungguh dibalik setiap kisah itu tersimpan hikmah yang berharga yang harus manusia temukan darinya. Bukankah memang demikianlah cara Tuhan mengajarkan hikmah kepada manusia? Bukankah Allah adalah Tuhan yang mengajarkan kepada manusia apa-apa yang belum dimengertinya melalaui perantaraan kalam?

Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).  (QS. Ar-Rum [30]:41).

Manusia memang adalah mahluk yang belajar dari apa-apa yang dialaminya. Manusia bergerak mendekat kepada kebenaran selangkah demi selangkah dihantarkan oleh desakan setiap kejadian. Kalau kita mau hitung berapakah bayaknya darah manusia yang telah ditumpahkan oleh manusia lainya, berapakah jumlah manusia yang telah mati di tangan manusia lainnya dan berapakah besarnya pederitaan dan kerusakan yang ditimbulkan akibat budaya perang yang sedemikian panjang itu, tentulah tidak dapat kita menghitungnya. Dan kenyataan itu sudah semestinya membuat kita sadar bahwa sungguh semua itu adalah pembelajaran yang amat mahal bagi umat manusia. Perlulah kita dengannya memikirkan secara seksama dan menganalisa dengan bijaksana, haruskah perang ini terus menjadi budaya kita sampai akhir masa dunia? Tidak cukupkah hikmah dan kebijaksanaan yang kita punya untuk secara bersama-sama menghentikan budaya pertumpahan darah ini. Bukankan dapat kita lihat dengan jelas acaman kehancuran yang sangat luar biasa yang menanti umat manusia jika perang ini terus menjadi budaya kita. Kita dapat lihat bagaimana dasyatnya alat-alat perang yang kita punya hari ini. Kita mesti sadar bahwa ini bukan lagi zamanya kapak dan batu. Ini bukan lagi zamannya pedang dan panah. Di zaman ini kita punya sejata-senjata yang mampu meluluh lantahkan kota dan membantai berjuta-juta manusia hanya dalam hitungan menit saja. Tidakkah kita berpikir?

Jika kita lihat ini dari sudut pandang agama, kita tahu bahwa perang sebenarnya adalah nyata-nyata merupakan hal yang amat bertentangan dengan ajaran agama. Kita tahu bahwa pada dasarnya agama sama sekali tidak mengajarkan kekerasan dan pembunuhan. Bahkan membunuh seekor hewan saja tanpa alasan yang benar adalah sebuah dosa dalam agama. Di sinilah maka kita harus benar-benar berpikir dan mencerna. Mungkin banyak dari kita tidak memahami dengan baik dan kemudian bertanya: “bukankah berperang adalah bagian dari yang diajarkan oleh agama?”  Benar memang bahwa perang telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari agama. Dari agama manapun yang kita kenal. Di setiap kitab suci agama-agama akan kita temui kisah dan perintah untuk berperang itu. Benar bahwa perang telah menjadi hal yang biasa bahkan sejak zaman para nabi. Namun janganlah sampai kita termasuk orang-orang yang lalai dari memikirkan dengan seksama lantaran sebab apakah perang ini menjadi bagian dari agama. Haruslah kita bijaksana mencerna bagaimana bisa agama yang melarang kekerasan dan pembunuhan justru mengakomodir perang sebagai sebuah ajaran. Agar kemudian darinya kita dapat mengerti bahwa semua itu ternyata ada karena keterpaksaan zaman.

Di zaman nabi terakhir, Nabi Muhammad saw., kita tahu bahkan perang masihlah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari agama. Tapi hendak kita tahu bahwa ini bukan lantaran Islam mengajarkan kekerasan dan pembunuhan. Jika saja bisa pastilah Islam; pastilah Nabi Muhammad saw. akan menghidari peperangan itu. Sekali lagi perlu kita tegaskan, jika saja bisa dan mungkin pastilah Islam; pastilah Nabi Muhammad saw. akan menghindari peperangan. Artinya perangan ada karena sebab keterpaksaan yang mau tidak mau harus dilakukan. Peperangan ada karena kemustahilan untuk menghidarinya di zaman itu. Di zaman itu perang masih merupakan budaya hidupnya umat manusia. Hanya ada dua pilihan yang tersedia di zaman itu. Memerangi atau diperangi. Tidak ada pilihan lain. Islam tidak mungkin dapat tetap eksis dan bertahan sampai hari ini jika tidak mengambil jalan perang sebagai bagian dari peradabannya. Dan ini tidaklah sama sekali berarti bahwa Islam membenarkan kekerasan, pembunuhan dan peperangan. Tidak, sama sekali tidak! Semua benar-benar karena keterpaksaan zaman semata. Dan kalau saja bisa, pastilah Nabi Muhammad saw. telah menghapuskan perang dari agama. Satu-satunya yang dibisa dilakukan pada masa itu hanyalah mengatur sedemikian rupa agar perang berlangsung secara beradab. Tidak boleh merusak pepohonan, tidak boleh merusak rumah ibadah, tidak boleh membunuh anak-anak dan manula serta aturan-aturan lainya yang dapat membuat perang berlangsung secara beradab. Hanya itu yang bisa dilakukannya. Tapi untuk menghapuskannya adalah hal yang tidak mungkin.

Dari sejarah peradaban Islam kita pun dapat mengetahui bahwa Nabi Muhammad saw. sebenarnya telah berusaha sedapat mungkin untuk menghidari peperangan. Bahkan sebagaimana kita tahu bahwa Nabi Muhammad saw. telah berusaha dengan sangat maksimal untuk mewujudkan sebuah perabadaban yang tiada pertumpahan darah padanya. Di tahun ke 2 hijriah, Nabi Muhammad saw. membentuk sebuah tatanan yang berbeda dari yang dikenal dalam masa-masa peradaban manusia sebelumnya. Di Madinah, di tahun ke 2 Hijriah tersebut Nabi Muhammad saw. mendirikan sebuah tatanan bermasyarakat yang amat mengedepankan perdamaian dan menjunjung tinggi keberagaman. Lahirlah di Madinah itu sebuah konstitusi yang merangkul berbagai golongan yang berbeda menjadi satu kesatuan ummat. Madinah yang hidup di dalamnya itu golongan Muhajirin, Anshar, suku-suku Yahudi, golongan Nasrani dan juga suku-suku Arab Badui itu, kesemuanya dirangkul menjadi satu kesatuan ummat di bawah naungan konstitusi yang dikenal dengan sebutan Piagam Madinah.

Sungguh tatanan Madinah ini merupakah sebuah revolusi peradaban yang luar biasa. Sebuah tatanan yang mempersatukan dan mempersaudarakan golongan-golongan yang berbeda menjadi satu kesatuan ummat yang dijamin hak-hak keseluruhannya secara adil. Ini benar-benar sebuah cikal bakal peradaban umat manusia yang berpotensi menghapuskan budaya mempertumpahkan darah yang telah berlangsung sangat lama. Namun sayangnya tatanan Madinah yang penuh toleransi dan amat menjunjung tinggi keberagaman dan perdamaian tersebut tidak dapat ditumbuh-kembangkan pada masa itu dan tidak dapat berlangsung lama. Pelanggaran dan pengingkaran yang terus berulang atas perjanjian dalam Piagam Madinah oleh orang-orang Yahudi dan musyrikin Madinah telah membuat Allah menurunkan sebuah surat yang dengannya secara otomatis menjadi batal-lah Piagam Madinah tersebut.

Surat At-taubah yang diturunkan Allah di tahun 9 hijriah telah menjadi sebuah maklumat yang membatalkan Piagam Madinah. Di dalam surat At-Tubah terkandung sebuah maklumat yang berisi perintah pemutusan hubungan antara orang-orang muslim dan musyirikin. Bahkan di dalam surat At-Taubah ini pula diturunkan maklumat untuk memerangi orang-orang musyrik itu di mana saja mereka berada sampai mereka tunduk dan membayar zijyah. Perlu kita ketahui bahwa surat At-taubah ini menjadi satu-satunya surat yang di dalamnya terdapat satu-satunya ayat yang berisi perintah mengambil zijyah dari orang-orang non-Islam. Sebagaimana kita ketahui bahwa di masa Piagam Madinah keharusan membayar zijyah bagi non-Islam itu tidak ada. Dan itu artinya bahwa sebenarnya tatanan yang diinginkan dan dicita-citakan Islam adalah tatanan yang menjunjung tinggi kesetaraan dalam perbedaan. Islam tidak mengehendaki sebuah tatanan yang dibangun diatas dasar penaklukan sebagian orang; memaksanya untuk tunduk dan mengharuskannya membayar zijyah sebagai jaminan keamanan baginya.

Datanganya surat At-Taubah bersama dengan maklumat pemutusan hubungan dan perintah untuk memerangi orang-orang musyrik dimanapun mereka berada, sungguh haruslah kita pahami sebagai sebuah maklumat yang terpaksa harus ada. Kedatangannya memang telah merubah arah perjalanan dan sikap politik peradaban Islam. Peradaban Islam yang semula hendak dibangun di atas dasar persamaan hak atas golongan-golongan yang berbeda-beda sebagaimana kita dapati dalam Piagam Madinah, menjadi harus berjalan dalam pola penaklukan dan pendudukan. Hal penting yang perlu kita perhatikan dengan sebaik-baiknya dalam hal ini adalah bahwa pola penaklukan orang-orang di luar Islam sebenarnya adalah hal yang hendak dihindari oleh Islam. Hanya saja rupanya kondisi manusia pada masa itu belum siap untuk mengikat diri dalam sebuah perjajian damai yang berkeadilan. Keadaan mentalitas manusia di zaman itu yang masih belum mampu untuk hidup bersama, bersatu dan bersaudara dalam perbedaan dan keberagaman. Keadaan yang demikian itulah yang membuat satu-satunya pilihan penyatuan adalah melalui penaklukan.

Sebagaimana kita pahami dang mengerti bahwa agama memanglah datang untuk mempersatukan umat mansia. Untuk mempersaudarakan setiap orang. Dan Piagam Madinah adalah bukti nyata bagaimana Nabi Muhammad saw. telah beusaha dengan sangat maksimal mempersatukan umat manusia dalam damai dan dalam keadilan. Karena tentu Islam memanglah agama yang amat menjunjung tinggi perdamaian dan keadilan. Hanya saja keadaan berkata lain. Kebebalan manusia di zaman itu membuat persatuan secara damai masih menjadi sebuah hal yang mustahil dilakukan. Maka penaklukan mau tidak mau harus digunakan untuk menjadi jalan mempersatukan umat manusia secara paksa. Dan sejak turunnya surat At-Taubah itu kita melihat bagaimana peradaban Islam harus disebarkan dan ditumbuhkan dalam budaya penaklukan ini. Kita tentu tidak dapat menyalahkan itu. Itulah satu-satunya pilihan yang Islam punya pada masa itu. Catatan penting yang perlu kita miliki dari itu semua adalah bahwa konsep berkehiduapan ala Piagama Madinah tetaplah harus kita tahu menjadi cita-cita peradaban Islam yang sebenarnya. Walau ia pernah menjadi sesuatu yang tertunda, tapi tidaklah berarti ia harus hilang selamanya. Dan tidaklah berarti kita boleh lupa bahwa ketika waktunya tiba haruslah kembali kita mewujudkannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun