Sungguh tatanan Madinah ini merupakah sebuah revolusi peradaban yang luar biasa. Sebuah tatanan yang mempersatukan dan mempersaudarakan golongan-golongan yang berbeda menjadi satu kesatuan ummat yang dijamin hak-hak keseluruhannya secara adil. Ini benar-benar sebuah cikal bakal peradaban umat manusia yang berpotensi menghapuskan budaya mempertumpahkan darah yang telah berlangsung sangat lama. Namun sayangnya tatanan Madinah yang penuh toleransi dan amat menjunjung tinggi keberagaman dan perdamaian tersebut tidak dapat ditumbuh-kembangkan pada masa itu dan tidak dapat berlangsung lama. Pelanggaran dan pengingkaran yang terus berulang atas perjanjian dalam Piagam Madinah oleh orang-orang Yahudi dan musyrikin Madinah telah membuat Allah menurunkan sebuah surat yang dengannya secara otomatis menjadi batal-lah Piagam Madinah tersebut.
Surat At-taubah yang diturunkan Allah di tahun 9 hijriah telah menjadi sebuah maklumat yang membatalkan Piagam Madinah. Di dalam surat At-Tubah terkandung sebuah maklumat yang berisi perintah pemutusan hubungan antara orang-orang muslim dan musyirikin. Bahkan di dalam surat At-Taubah ini pula diturunkan maklumat untuk memerangi orang-orang musyrik itu di mana saja mereka berada sampai mereka tunduk dan membayar zijyah. Perlu kita ketahui bahwa surat At-taubah ini menjadi satu-satunya surat yang di dalamnya terdapat satu-satunya ayat yang berisi perintah mengambil zijyah dari orang-orang non-Islam. Sebagaimana kita ketahui bahwa di masa Piagam Madinah keharusan membayar zijyah bagi non-Islam itu tidak ada. Dan itu artinya bahwa sebenarnya tatanan yang diinginkan dan dicita-citakan Islam adalah tatanan yang menjunjung tinggi kesetaraan dalam perbedaan. Islam tidak mengehendaki sebuah tatanan yang dibangun diatas dasar penaklukan sebagian orang; memaksanya untuk tunduk dan mengharuskannya membayar zijyah sebagai jaminan keamanan baginya.
Datanganya surat At-Taubah bersama dengan maklumat pemutusan hubungan dan perintah untuk memerangi orang-orang musyrik dimanapun mereka berada, sungguh haruslah kita pahami sebagai sebuah maklumat yang terpaksa harus ada. Kedatangannya memang telah merubah arah perjalanan dan sikap politik peradaban Islam. Peradaban Islam yang semula hendak dibangun di atas dasar persamaan hak atas golongan-golongan yang berbeda-beda sebagaimana kita dapati dalam Piagam Madinah, menjadi harus berjalan dalam pola penaklukan dan pendudukan. Hal penting yang perlu kita perhatikan dengan sebaik-baiknya dalam hal ini adalah bahwa pola penaklukan orang-orang di luar Islam sebenarnya adalah hal yang hendak dihindari oleh Islam. Hanya saja rupanya kondisi manusia pada masa itu belum siap untuk mengikat diri dalam sebuah perjajian damai yang berkeadilan. Keadaan mentalitas manusia di zaman itu yang masih belum mampu untuk hidup bersama, bersatu dan bersaudara dalam perbedaan dan keberagaman. Keadaan yang demikian itulah yang membuat satu-satunya pilihan penyatuan adalah melalui penaklukan.
Sebagaimana kita pahami dang mengerti bahwa agama memanglah datang untuk mempersatukan umat mansia. Untuk mempersaudarakan setiap orang. Dan Piagam Madinah adalah bukti nyata bagaimana Nabi Muhammad saw. telah beusaha dengan sangat maksimal mempersatukan umat manusia dalam damai dan dalam keadilan. Karena tentu Islam memanglah agama yang amat menjunjung tinggi perdamaian dan keadilan. Hanya saja keadaan berkata lain. Kebebalan manusia di zaman itu membuat persatuan secara damai masih menjadi sebuah hal yang mustahil dilakukan. Maka penaklukan mau tidak mau harus digunakan untuk menjadi jalan mempersatukan umat manusia secara paksa. Dan sejak turunnya surat At-Taubah itu kita melihat bagaimana peradaban Islam harus disebarkan dan ditumbuhkan dalam budaya penaklukan ini. Kita tentu tidak dapat menyalahkan itu. Itulah satu-satunya pilihan yang Islam punya pada masa itu. Catatan penting yang perlu kita miliki dari itu semua adalah bahwa konsep berkehiduapan ala Piagama Madinah tetaplah harus kita tahu menjadi cita-cita peradaban Islam yang sebenarnya. Walau ia pernah menjadi sesuatu yang tertunda, tapi tidaklah berarti ia harus hilang selamanya. Dan tidaklah berarti kita boleh lupa bahwa ketika waktunya tiba haruslah kembali kita mewujudkannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H