Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.(QS. Al-Qalam [68]:4)
Jika kita berbicara tentang Islam tentu tidaklah bisa lepas dari berbicara juga Nabi Muhammad saw. Karena tentu saja antara Islam dan Nabi Muhammad adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Nabi Muhammad saw. adalah contoh nyata manusia yang berislam dengan sebenar-benarnya. Pada diri nabi Muhammadlah kita dapat melihat seperti apa akhlak yang akan terpancar dari seorang manusia ketika ajaran Islam menjadi jiwa di dalam dadanya. Dialah pribadi dengan budi pekerti yang agung yang terpancar cahaya Islam dari dirinya.
Secara tegas dapat kita katakan bahwa orang yang benar-benar berislam pastilah ia berakhlak mulia. Karena Islam itu hadir membawa aqidah mulia yang dengannya manusia akan berakhlak mulia pula. Seumpama dengan pohon yang kualitasnya dapat kita kenali dari buahnya, demikian juga kita dapat mengenal kualitas aqidah seorang anak manusia dari akhlaknya. Sekali lagi, manusia yang tertanam aqidah Islam di dalam dadanya pastilah berakhlak mulia. Dan jika kita mendapati manusia mengaku berislam, tapi perilaku hidupnya jauh dari akhlak Islam, kita dapat pastikan bahwa sebenarnya dia belum benar-benar berislam.
Tentu kita harus jujur melihat realita yang ada. Dimana hari ini kita mendapati tidak sedikit anak-anak manusia yang mengaku dengan bangga bahwa Islam adalah agamanya, tapi perilaku hidupnya amatlah jauh dari nilai-nilai luhur Islam. Tidak sedikit pula kita melihat anak-anak manusia yang mengaku dirinya adalah pengikut Rasulullah Muhammad saw., tapi sangat jauh akhlaknya dari mentauladani Nabi Muhammad saw. Inilah mungkin yang dikatakan bahwa di akhir zaman umat Islam hanyalah seperti buih di lautan. Islam hanyalah menjadi hiasan diri dan tidak menjadi jiwa yang hidup di dalam diri. Tentu kita tidaklah bisa menutup mata dari banyaknya kita dapati mereka yang mempunyai kedudukan tinggi dalam agama telah menunjukan perilaku yang justru menodai ajaran-ajaran agama itu sendiri.
Perlu kita pahami sekali lagi bahwa akhlak Islam sesungguhnya adalah fitrah yang ada di dalam diri setiap manusia. Akhlak Islam bukanlah sesuatu yang bisa disebut tempelan. Tidak! Akhlak Islam adalah sesuatu yang telah ada di dalam jiwa, hanya saja dia harus kita kenali dan harus kita hidupi. Dia bukan sesuatu yang datang dari luar dan ditempelkan untuk menjadi budi pekerti. Dia adalah sesuatu yang universal yang telah ada di dalam diri setiap manusia sejak kelahirannya. Karenanya tidak aneh buat kita jika kita mendapati ada orang-orang di luar Islam yang bisa memiliki akhlak Islam. Banyak kita mendapati orang-orang non-Islam yang punya perilaku hidup yang jujur, menjaga amanat, berkasih sayang, adil, pemaaf, bijaksana dan perilaku-perilaku berakhlak lainya yang sangat islami. Hal yang demikian itu bisa terjadi karena sekali lagi, akhlak Islam adalah fitrah diri setiap manusia. Dia adalah sesuatu yang membuat seorang manusia merasa nyaman, damai dan merasa utuh denganya. Sebenarnya di sanalah letak kebahagiaannya seorang manusia, ketika ia telah menjadi pribadi yang berakhlak mulia itu.
“Bahwasanya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak”.(HR. Bukhari)
Hadist tersebut di atas adalah pengingat yang amat penting buat kita manusia. Dari hadist tersebut kita tahu betapa pentingnya kedudukan akhlak dalam agama. Kata innamasebagai awalan dari hadist tersebut yang berarti sesungguhnya; hanya sanya; atau bisa juga berarti bahwasanya,adalah sebuah penegasan yang membuat kita tahu bahwa misi terpenting dan terutama kedatangan Nabi Muhammad adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia. Sehingga akhlak haruslah kita pandang sebagai segala-galanya. Agama itu sendiri dibangun dan hadir untuk membentuk akhlak yang mulia itu. Dan sungguh menjadi omong kosonglah kalau kita mengaku beragama tapi tidak memperhatikan akhlak. Menjadi sia-sialah jika kita beragama tapi tidak hidup menjadi manusia yang berkhlak mulia. Kita tidak boleh menjadikan agama hanyalah kesibukan-kesibukan kosong untuk memeriahkan kehidupan saja. Agama haruslah menjadi jiwa dan laku kita dalam berkehidupan.
Dari hadist tersebut kita juga menjadi mengerti bahwa akhlak sesungguhnya sesuatu yang built-in (terpasang permanen) di dalam diri manusia. Setiap manusia terlahir bersama nilai-nilai kemanusiaan dan kebaikan di dalam dirinya. Karenanya Nabi Muhammad saw. tidak berkata bahwa ia datang membawa atau mendatangkan akhlak, melainkan ia datang untuk menyempurnakan atau untuk menghidupkan akhlak yang ada di dalam dada manusia. Dan dengan semua ini harus menjadi teranglah buat kita bahwa letak mulianya seorang anak manusia adalah terletak pada akhlaknya. Akhlak adalah segalanya bagi manusia. Akhlak adalah kunci keselamatan, kedamaian dan kesejahteraan hidup setiap manusia. Akhlak adalah ukuran baik buruknya seorang anak manusia. Jangan kita terjebak menilai manusia hanya dari atribut luaran yang dimilikinya. Jangan kita menilai manusia hanya dari apa sukunya, apa ras bangsanya dan bahkan apa agama yang tertera pada kartu identitasnya. Sungguh akhlak Islam itu adalah sesuatu yang tertanam nyata di dalam dada setiap manusia. Maka ketika kita mendapati seorang anak manusia dengan akhlak yang mulia, hormatilah ia meskipun ia bukanlah orang yang seagama dengan kita. Bukankah Nabi Muhammad pernah bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling baik akhlaknya.“(HR Thabrani dari Ibnu Umar).Maka pandanglah baik siapapun yang berakhlak baik. Pandanglah mulia siapapun yang berakhlak mulia.
Seorang lelaki menemui Rasulullah saw. dan bertanya, “Ya Rasulullah, apakah agama itu?” Rasulullah menjawab, “Akhlak yang baik.” Kemudian ia mendatangi Nabi dari sebelah kanannya dan bertanya, “Ya Rasulullah, apakah agama itu?” Nabi menjawab, “Akhlak yang baik.” Kemudian ia menghampiri Nabi dari sebelah kiri, “Apakah agama itu?” Dia bersabda, “Akhlak yang baik.” Kemudian ia mendatanginya dari belakang dan bertanya, “Apa agama itu?” Rasulullah menoleh kepadanya dan bersabda, “Belum jugakah engkau mengerti? Agama itu akhlak yang baik.”(al-Targhîb wa al-Tarhîb 3: 405).
Agama itu akhlak yang baik. Akhlak haruslah menjadi tujuan utama dalam beragama. Karena Akhlak adalah penyelamat umat manusia. Kekacauan, kerusakan dan penderitaan yang terjadi dalam kehidupan kita ini adalah akibat bermasalahnya akhlak manusia. Karena akhlak belum ditempatkan sebagai prioritas utama. Dan karena agama dan akhlak nampak sekali tidak berjalan bersama. Seolah kita lupa bahwa tujuan kita beragama adalah agar berakhlak mulia.
Maka hendaklah fokus kita untuk memperbaiki tatanan kehidupan umat manusia adalah pada memperbaiki akhlak tiap-tiap manusia. Kita harus berhenti berfokus kepada perilaku saling bangga-membanggakan golongan dan agama. Kita harus berhenti dari budaya saling mengkafirkan satu dengan yang lainnya. Jika kita harus saling berbangga maka saling berbanggalah pada kemulian akhlak. Jika kita harus berlomba, maka berlomba-lombalah kita dalam kebajikan. Agama bukan untuk dibangga-banggakan tapi untuk ditunjukan dalam perilaku yang menjadi rahmat bagi banyak orang.
Ada satu yang lucu yang saya temui di beberapa forum diskusi lintas agama. Dimana sering kali saya temui beberapa dari kita yang beragama Islam memposting tentang ramalan kedatangan Nabi Muhammad saw. yang terdapat di berbagai kitab suci umat agama lain. Ada ramalan itu di kitabnya orang Hindu, di kitabnya orang Buddha, di kitabnya orang Yahudi dan juga di kitabnya orang Nasrani. Kita sebagai muslim memanglah tentu berbangga hati dengan fakta-fakta yang akurat tersebut. Namun hal yang lucunya adalah banyak dari kita yang lalai untuk memikirkan, bagaimana bisa ramalan tersebut ada di dalam kitab suci agama-agama di luar Islam itu? Kita abai untuk memikirkan dan bertanya siapakah yang menginspirasi tertulisnya ayat-ayat yang berisi ramalan kedatangan Nabi Muhammad saw. itu di dalam berbagai kitab suci di luar Islam itu? Bukankah jika kita mempercayai ayat-ayat dalam berbagai kitab suci yang menerangkan akan datanganya Nabi Muhammad saw. itu, haruslah kita tahu bahwa pastilah Allah yang telah menuliskannya di situ. Dan jika Allah yang telah menuliskannya di situ bukankah itu berarti ada kebenaran juga yang terkandung dalam kitab-kitab tersebut. Kenapakah kita tidak mempertimbangkan bahwa ada kebenaran, meski mungkin tidak keseluruhannya, tapi tetaplah ada kebenaran yang terkandung di dalam kitab-kitab tersebut. Maka Maha Benarlah Allah atas firman-Nya yang menerangkan: Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.(QS. Al-Baqarah [2]:147).
Keanehan yang luar biasa bagi kita ketika melihat adanya orang yang merasa bahwa kebenaran hanya mereka yang punya. Seolah kebenaran itu hanya dibuat khusus untuk mereka saja dan tidak untuk orang lain. Mereka lupa bahwa di dalam setiap jiwa manusia telah Allah tiupkan kebenaran padanya. Mereka lupa bahwa di setiap ciptaan; di seisi langit dan bumi ini bertebaran ayat-ayat-Nya. Mereka lupa bahwa kemanapun seorang anak manusia menghadap di situlah wajah Allah berada.
Sungguh merasa diri paling benar adalah sebuah penyakit parah. Sebuah penyakit yang akan membuat manusia selalu saja terjebak dalam perselisihan dan permusuhan. Sebuah penyakit yang akan membuat kita semakin jauh dan jauh dari terwujudnya persatuan dan persaudaraan umat manusia. Nampaknya kita benar-benar lupa bahwa kita diciptakan dalam fitrah yang sama. Nampaknya kita juga telah lupa bahwa seluruh umat manusia bermula dari nenek moyang yang sama. Dari Adam dan Hawa. Entah harus sampai berapa lama kita terjebak dan terus terjebak dalam budaya saling bangga membanggakan golongan. Entah harus sampai kapan kita terpenjara dalam perilaku saling mengkafirkan. Entah harus berapa banyak waktu lagi yang kita habiskan dalam kealpaan bahwa manusia adalah umat yang satu.
“Dia yang bukan saudaramu dalam iman adalah saudaramu dalam kemanusiaan.”(Imam Ali bin Abi Tholib)
Agama kita boleh saja berbeda, sebutan kita untuk Sang Pencipta boleh saja tidak sama, cara kita memuja dan mengagungkan Tuhan boleh saja berlainan cara, dan tradisi dan budaya kita pun tidaklah harus seragam. Semua itu adalah kodrat yang tidak bisa kita tolak. Telah menjadi suratan takdir dari Sang Pencipta bahwa kita pastilah akan beragam sukunya, beragam ras bangsanya, beragam tradisi dan budayanya, dan beragam pula agama. Sampai kiamat pun kita akan tetap beragam dan tidak akan pernah itu berubah. Tapi haruskah sampai kiamat pula kita terus berselisih paham, terus bergolong-golongan, terus kafir mengkafirkan dan terus memaksakan yang lain agar seiman dan seagama dengan kita? Bukan telah Allah tegaskan bahwa tidak boleh ada paksaan dalam beragama? Maka biarlah dan ikhlaslah bahwa kita berbeda-beda adanya dan selamanya akan tetap berbeda-beda adanya. Kita harus dengan lapang dada menerima itu sebagai realita. Sebab seberapa banyaknya pun hal yang berbeda di antara kita manusia, hal itu tidak akan pernah dapat menghapus fakta bahwa kita akan selalu mempunyai satu yang sama dan serupa. Kemanusiaan kita. Nilai-nilai kemanusiaan di dalam diri kita itu sama adanya dan akan tetap sama adanya selamanya. Ia tidaklah akan pernah bisa dihapuskan. Dan di atas nama kemanusiaan itulah kita dapat berdiri merajut persatuan dan persaudaraan umat manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H