Singkat kata, awak media kini kerjanya lebih ringan. Tidak lagi perlu belajar menulis cepat (steno), belajar mengetik di atas mesin telek dan seterusnya. Jadi, tantangan di lapangan tak terlalu berat, seperti diawasi atau "dimata-matai" pihak tertentu agar tidak menyiarkan berita ini dan itu.
Kerja pers sekarang ini terasa makin ringan. Publik pun makin cepat terpuaskan. Informasi cepat tersaji di perangkat komunikasi yang ada di tangannya, kapan dan dimana pun sejauh ada jaringan internet di tempat bersangkutan.Â
Sementara perlahan dan pasti, media cetak berguguran alias tutup. Media televisi makin menjamur. Berbarengan dengan itu, publik makin menggemari penggunaan media sosial atau medsos.Â
Di sini, setiap orang bebas menggunakan media sosial. Euforia menggunakan medsos dan mencuatnya berita bohong (hoax) sulit dibendung.Â
Ada pihak menyampaikan pendapatnya kebablasan. Walhasil, yang bersangkuan dijerat UU ITE.Â
Tatkala tidak mengindahkan kesopanan dalam menyampaikan pendapat, saat itu pula polisi sigap dan pintu "bui" menanti bagi penyebar berita bohong dan pelontar ujaran kebencian (hate speech).
**Â
Sungguh tepat kata Suhu Parni Hadi, dedengkot praktisi media massa. Ke depan, bisa jadi media massa tak perlu lagi redaktur.Â
Berbarengan dengan itu - dalam penyampaian berita - awak media sudah terkontaminasi atau tercemar gaya penulisan di media sosial.Â
Kaidah bahasa, seperti disampaikan Prof. Dr. Anton M. Moeliono (wafat pada 25 Juli 2011) , tidak diindahkan lagi. Sedangkan rambu-rambu kesopanan (kode etik) makin terabaikan.Â
Itu bermula dari rekrutman awak media pada perusahaan pers tidak lagi menekankan pentingnya standarisasi yang diinginkan Dewan Pers.Â