Tukar peran rumah tangga. Soal yang beginian sih, bagi kalangan "santri kodok" bukan hal baru.
Saya sebut santri kodok karena santri bersangkutan tidak pernah mondok (bermukim) di sebuah pondok pesantren. Ia belajar kajian Islam dari satu kyai ke kyai lainnya.
Santri kodok seperti ini belajar tekun dari para kyai setiap malam. Dari sisi keilmuan, ya tentu tak kalah kualitasnya dengan santri-santri yang mondok lama di pondok pesantren.
Bagi santri kodok, sangat memahami kapan harus mengambil posisi menjalankan peran istri di rumah. Apalagi, di rumah tidak memiliki pembantu rumah tangga.
Menjadi orangtua, bagi Jamhur (bukan nama sebenarnya), dengan istri sebagai pekerja kantoran haruslah berjalan seimbang. Seimbang dalam membagi waktu dan peran.
Istri, kala libur panjang saat pandemi Covid-19, banyak memiliki waktu di rumah. Tetapi bagi Jumhur tidak berarti istri harus melulu berada di dapur. Istri perlu keluar bersama anak-anak menghidup udara sejuk dan keindahan alam.
Karena itu, ketika istri tengah berlibur, Jumur ikut mendampingi dengan sebelumnya melakukan persiapan yang dilakukannya sendiri. Misalnya, soal perbekalan hingga melakukan pengecekan kendaraan pribadi yang digunakan.
Mengasuh anak kala istri bekerja bagi Jumhur bukanlah hal tabu. Justru harus dimaknai sebagai sarana untuk mendekatkan anak, mengenal watak kepribadian anak, hingga mencurahkan seluruh perhatian dan kasih sayang.
Demikian pula kala anak-anak bermain di halaman depan rumah. Jumhur sesekali hadir di dapur ketika istri tengah memasak. Ia menyampaikan kalimat kepada sang istri: "Ada yang bisa dibantu, sayang?"
**
Sejatinya, seorang suami mengambil peran istri sudah dipraktikkan Nabi Muhammad SAW.