**
Dalam suatu kesempatan penulis mendampingi isteri ikut komunitas pengajian di lingkungan alumni Universitas Trisakti Jakarta. Penulis tak merasa minder menghadapi orang-orang berpenampilan cantik dan terkesan "wah". Â Terpenting, istriku juga cantik.
Pikir penulis, kemuliaan seseorang bukan terletak dari "kesingnya" tetapi pada amal baktinya dari orang bersangkutan. Nah, berbekal dari pengalaman dan pemahaman seperti itu, ya penulis bisa menyesuaikan dengan lingkungan para hadirin dalam komunitas itu.
Awalnya, para ibu dan bapak-bapak yang usianya sebaya dengan penulis merasa kaku ketika berhadapan dan ngobrol dengan penulis. Lambat laun, dalam pertemuan berikutnya, tidak ada lagi rasa canggung. Mereka bicara terbuka seperti famili sendiri.
Rupanya, mereka tahu bahwa setiap pengajian, hasil kajian Alquran bersama penceramahnya dimuat di rubrik Kompasiana. Mereka membacanya. Nah, sejak itu penulis kerap ketika bertemu mereka dipanggil sebagai wartawan Kompasiana.
Kalau ada acara foto bersama, para ibu minta dekat dengan isteri penulis. Alasannya, sangat mungkin dapat dimuat di Kompasiana.
"Dekat sini, dekat ibu wartawan Kompasiana. Nanti dimuat di Kompasiana," gitu alasan mereka.
**
Jauh sebelumnya penulis sadar bahwa sebutan wartawan Kompasiana jadi bermasalah. Kok, bisa ya?
Begini. Dalam suatu kesempatan penulis berkumpul dengan para mantan pensiunan instansi penulis dulu bekerja. Ya, kantor berita Antara, yang dulu disebut "grosir" berita.
Salah seorang di antara rekan penulis bertanya, berapa sih gaji Wartawan Kompasiana?