Ah, apa iya, perempuan harus mempertimbangkan masak-masak menjadikan pelaut sebagai suami?
Ketika pertanyaan ini diajukan kepada seorang wanita, ia tak segera memberi jawaban dengan tegas. Jidatnya nampak lebih dahulu berkerenyit beberapa saat. Setelah lama dinanti, barulah dijawab dengan segala argumentasinya.
Memilih pelaut sebagai suami sangat beresiko. Â Ya, memang semua pilihan punya resiko tersendiri. Setiap perempuan punya pertimbangan yang satu sama lain berbeda. Tetapi secara umum dapat ditarik kesimpulan bahwa perempuan lebih menghindari pelaut sebagai suami.
Kalau untuk pacaran aja sih, boleh-boleh saja. Sebab, pelaut itu memberi kesan ketika turun ke darat cenderung royal kepada siapa pun. Maklum, ia tengah memiliki uang banyak. Dompet penuh.
"Kan, di laut tak memiliki pusat perbelanjaan. Duitnya banyak, mau dibelanjakan ke mana?" ujar seorang gadis sambil melempar tawa cekikikan.
Alasan kuat untuk menghindar menjadikan pelaut sebagai suami, salah satu alasannya adalah pelaut digambarkan sebagai mata keranjang. Kesan kuat bahwa pelaut itu mata keranjang lantaran begitu turun ke darat cenderung liar.
Ia mudah menjadi seorang penghianat. Pengalaman dari kebanyakan yang ada adalah pelaut mudah mengingkari janji setia yang tertuang dalam akad nikah.
Sejak kecil kita memang dianjurkan menjadi pelaut. Penulis pun masih kuat mengingat lirik lagu Nenek Moyangku Seorang Pelaut.
Lirik lagunya begini: nenek moyangku seorang pelaut, gemar mengarung luas samudra, menerjang ombak tiada takut, menempuh badai sudah biasa,Â
angin bertiup layar terkembang, ombak berdebur di tepi pantai, pemuda b'rani bangkit sekarang
ke laut kita beramai-ramai, belalai gajah panjang, bulu kucingku belang, Tuhan maha penyayang, anak-anak disayang.