Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Beauty Pilihan

Batik (Luntur) di Hati Rakyat

3 Oktober 2020   19:27 Diperbarui: 3 Oktober 2020   19:36 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahagia dan bangga dapat membeli batik. Foto | Dokpri

Batik itu jika dipandang tidak pernah membosankan. Mengenakan baju batik, meski luntur, tetap saja dapat dinikmati dengan segala keindahan yang melekat pada bahannya. Realitasnya, memang batik luntur sekalipun masih tetap diminati. Animo rakyat mengenakan pakaian bercorak batik tidak pernah luntur sepanjang masa.

Enggak pecaya?

Kala di Pulau Bali banyak dijual celana pendek bercorak batik di tepi jalan, banyak wisatawan bule membelinya. Baju daster bercorak batik lokal, meski dipakai luntur ketika dicuci tetap saja diminati.

Bahagia dan bangga dapat membeli batik. Foto | Dokpri
Bahagia dan bangga dapat membeli batik. Foto | Dokpri
Dulu, di Pulau Dewata banyak dijual pakaian bercorak batik di berbagai tempat. Di Kuta hingga pemukiman penduduk yang dijadikan penampungan para wisatawan banyak dijumpai penjual pakaian keliling. Di pagi hari, para pedagang menggelar dagangannya di muka hotel melati.

Di kawasan parkiran pusat wisatawan datang juga tak kalah ramainya para pedagang menawarkan celana dan baju batik.

Di Pulau Jawa dan mungkin juga di seantaro nusantara dapat dipastikan setiap warga memiliki pakaian batik. Bagi pegawai negeri, ya tentu sudah jadi barang wajib mengenakan baju batik pada hari tertentu, seperti Jumat dan hari besar nasional.

Meski diejek setiap hari mengenakan baju batik (lengan pendek) ke kantor,  dengan sebutan seperti  hendak kondangan melulu, dapat dipastikan orang yang bersangkutan tidak marah. Ucapan seperti itu sebagai pertanda bentuk perhatian bahwa yang mengenakan batik ternyata punya koleksi batik dari berbagai daerah.

Memiliki pakaian  bercorak batik kini jadi kebanggan tersendiri. Jangan kaget, Batik dari Papua kini sudah merambah ke Pulau Jawa. Itu pertanda animo terhadap batik demikian tinggi.

Di Pulau Jawa banyak dijumpai pusat pengrajin batik seperti di Pekalongan, Yogyakarta, Solo dan beberapa tempat lainnya. Semua itu menunjukan bahwa batik sejak zaman tempo doeloe hingga kini begitu lekat di hati rakyat Indonesia.  Bagi pecinta batik, motif atau corak ikut menentukan kelas dan harga.

Namun realitas yang kita saksikan bahwa batik dari zaman baheula hingga kini tak sekedar sebagai status sosial seseorang, tetapi juga sudah merakyat.

Memperhatikan motif batik. Foto | Dokpri
Memperhatikan motif batik. Foto | Dokpri
*

Motif batik dari berbagai daerah nyatanya tak kalah dengan batik-batik dari Pulau Jawa. Yogyakarta dan Solo masih terasa punya kelas. Bisa jadi karena peradaban Jawa tidak lepas dari batik. Coba perhatikan, para pengawal istana kerajaan, tak pernah lepas dari batik.

Dulu, mengenakan baju batik hukumnya wajib. Ini pengalaman penulis  kala bertugas sebagai reporter di Istana Wakil Presiden, Merdeka Selatan. Di era Orde Baru, istana punya aturan ketat. Saat itu Wakil Presidennya adalah Letnan Jenderal TNI H. Soedharmono, S.H. Ia adalah Wakil Presiden kelima yang menjabat selama periode 1988-1993.

Keharusan mengenakan batik  diberlakukan bagi reporter yang ditugasi di Istana Presiden di Merdeka Utara. Kala itu, bagi setiap wartawan jika bertugas di istana diharuskan mengenakan batik. Kalau tidak batik, yang bersangkutan harus mengenakan baju lengan panjang plus berdasi. Lebih keren lagi, ya dilengkapi dengan jas.

Itulah gaya wartawan 'elite' sebutan di era itu. Soal otak cerdas atau tidak, di sini tak dipersoalkan. Penting sebelum bertugas di istana, harus menjalani screening. Jadi,  reporter 'elite' di istana harus lulus ujian penyaringan untuk mengetahui integritas, loyalitas dan tentu tidak berbuat macam-macam ketika menjalani tugas.

Nah, soal baju berdasi dan mengenakan batik selama bertugas di istana ini demikian ketat diberlakukan. Sampai-sampai petugas pos akan selalu mengawasi gerak-gerik wartawan jika tak mengindahkan aturan yang telah berlaku baku. Jika tak mengenakan baju berdasi atau batik, jangan harap bisa masuk istana.

Dan, ada satu lagi larangan tak boleh masuk istana.

Apa itu?

Siapa pun orangnya, apakah dia petinggi atau warga biasa, dilarang masuk istana mengenakan celana jeans.  Aturan itu semua nampaknya masih berlaku hingga kini. Bagi penulis, mengenakan batik terasa lebih keren.

Koleksi batik. Foto | Dokpri
Koleksi batik. Foto | Dokpri
**

Untuk jemaah Indonesia yang melakukan ibadah haji, sudah lama memang pemerintah menganjurkan mengenakan seragam bermotif batik. Karena itu,tak heran, bila dari kejauan, jika ada jemaah haji mengenakan seragam batik dapat dipastikan yang bersangkutan berasal dari Indonesia.

Kini, sudah ada kesadaran di antara biro perjalanan sebagai penyelenggara umrah menyediakan baju motif batik. Ke depan, pemerintah perlu mendorong lagi agar batik lebih "berkibar" di tanah suci. Keren, kan?

Penulis dalam keseharian memang selalu mengenakan batik. Hanya pakaian dalam saja tak bermotif batik. Kalau ada, bisa jadi ya dibeli dan dikenakan dalam keseharian.

Jika nanti pemerintah mengeluarkan anjuran mengenakan kain sarung bermotif batik, dapat dipastikan batik akan makin digemari seluruh lapisan masyarakat.

Batik Indonesia telah ditetapkan sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Non-Bendawi pada 2 Oktober 2009 oleh United Nations of Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO).

Karena itu pada Hari Batik 2020, kita berharap batik Indonesia makin digemari seluruh warga Indonesia.  

Sungguh, mengenakan batik dapat menimbulkan rasa kebanggan sendiri. Coba saksikan, ketika kondangan, banyak di antara pejabat mengenakan baju batik. Keren-keren.

Motif batik yang dikenakan beragam. Ada yang berasal dari berbagai daerah di Tanah Jawa. Ada motif yang disebut segar jagad, Sido Mukti Magetan, Batik Kraton, Jepara, Solo, Kawung, Tasik, Malang, Pekalongan, Mega Mendung, Cuwiri, Pringgondani, Sida Luhur, Semen Rama, Sida Asih,Tampal, Sudagaran, Petani.

Belakangan ini banyak orang mulai banyak mengenakan batik dari Papua, Kalimantan, Tanah Batak dengan ciri khas alam dan binatang lokal setempat. Nah, apa lagi jika orang bule yang mengenakan, timbul rasa kebanggaan bahwa batik sudah jadi ciri khas Indonesia.

Ayo, kenakan batik!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Beauty Selengkapnya
Lihat Beauty Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun