Batik itu jika dipandang tidak pernah membosankan. Mengenakan baju batik, meski luntur, tetap saja dapat dinikmati dengan segala keindahan yang melekat pada bahannya. Realitasnya, memang batik luntur sekalipun masih tetap diminati. Animo rakyat mengenakan pakaian bercorak batik tidak pernah luntur sepanjang masa.
Enggak pecaya?
Kala di Pulau Bali banyak dijual celana pendek bercorak batik di tepi jalan, banyak wisatawan bule membelinya. Baju daster bercorak batik lokal, meski dipakai luntur ketika dicuci tetap saja diminati.
Di kawasan parkiran pusat wisatawan datang juga tak kalah ramainya para pedagang menawarkan celana dan baju batik.
Di Pulau Jawa dan mungkin juga di seantaro nusantara dapat dipastikan setiap warga memiliki pakaian batik. Bagi pegawai negeri, ya tentu sudah jadi barang wajib mengenakan baju batik pada hari tertentu, seperti Jumat dan hari besar nasional.
Meski diejek setiap hari mengenakan baju batik (lengan pendek) ke kantor,  dengan sebutan seperti  hendak kondangan melulu, dapat dipastikan orang yang bersangkutan tidak marah. Ucapan seperti itu sebagai pertanda bentuk perhatian bahwa yang mengenakan batik ternyata punya koleksi batik dari berbagai daerah.
Memiliki pakaian  bercorak batik kini jadi kebanggan tersendiri. Jangan kaget, Batik dari Papua kini sudah merambah ke Pulau Jawa. Itu pertanda animo terhadap batik demikian tinggi.
Di Pulau Jawa banyak dijumpai pusat pengrajin batik seperti di Pekalongan, Yogyakarta, Solo dan beberapa tempat lainnya. Semua itu menunjukan bahwa batik sejak zaman tempo doeloe hingga kini begitu lekat di hati rakyat Indonesia. Â Bagi pecinta batik, motif atau corak ikut menentukan kelas dan harga.
Namun realitas yang kita saksikan bahwa batik dari zaman baheula hingga kini tak sekedar sebagai status sosial seseorang, tetapi juga sudah merakyat.