Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Warning" bagi Aparat, Peringatan Hari Asyura Berpotensi "Digoreng"

23 Agustus 2020   12:03 Diperbarui: 23 Agustus 2020   11:53 555
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peringatan Hari Asyura. Foto | Riaulink.

Di tengah pandemi Covid-19, pentas "gorengan" politik tak kenal henti. Kelompok "gaek" yang tak (sempat) mengecap dan menikmati kursi kekuasaan masih memiliki semangat "unjuk gigi".

Kemasannya pun terdengar elok, menyelamatkan negeri dengan sebutan gerakan moral di kala warga terhimpit kesulitan ekonomi sebagai dampak Covid-19.

Sepintas, ada keseruan di situ.

Sebab, lagi-lagi, lauknya itu melulu. Lagi-lagi lagunya itu melulu yang dimainkan. Lagi-lagi dia lagi pelakunya. Kata orang pinggiran Jakarta: "Lagunya memang sudah lama tak enak didengar, apa lagi lagu yang melekat padanya."

Semua itu tergambar ketika Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsudin menggaungkan gerakan moral dari Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI). Anak negeri ada yang menyambut setengah hati penuh tanda tanya di tengah perang opini di media massa.

Penting disadari bahwa lama anak negeri ini menikmati pendidikan modern. Pada peringatan 75 tahun Indonesia merdeka, para pemuda, nampak di berbagai daerah memperlihatkan prestasi. Mereka cerdas.

Mereka itu rupanya belajar dari sejarah sehingga tahu persis mana yang hak dan batil. Itu tak lain disebabkan mereka paham timbangan yang dipakai. Kesan yang muncul kemudian ditangkapnya sebagai "politik gorengan" membosankan.

Atas nama demokrasi, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) Azis Syamsuddin merespon tuntutan gerakan moral dari koalisi itu.  Di negeri ini memang sudah lama dan sepatutnya setiap pendapat yang berkembang di tengah masyarakat dihormati.

Yah, biarlah semua itu berjalan. Kita pun tahu, air mengalir pasti ke daerah yang rendah. Siapa pun tahu. Ujungnya, bermuara pada kekuasaan.

**

Jangan lupa, dalam hitungan hari kita merayakan peringatan 10 Muharam atau Hari Raya Asyura. Orang Betawi menyebutkan Lebaran Anak Yatim. Disebut demikian, lantaran pada saat itu sebagian umat Islam sangat diharapkan ambil bagian untuk menyantuni anak yatim.

Pada hari itu pula, banyak warga seperti di lingkungan RT007/RW01, Ceger, Cipayung, Jakarta Timur, menjadikan hari itu sebagai kegiatan sosial. Warga mengumpulkan uang lantas membagikannnya kepada anak yatim.

Di berbagai daerah, hal tersebut juga berlangsung. Kegiatan kesalehan sosial itu sangat penting untuk menggembirakan anak yatim. Acara tersebut adalah mencontoh Nabi Muhammad Saw, menyantuni anak yatim yang kehilangan orangtuanya akibat mati sahid dalam perang (Badar) kala memerangi kaum kafir di Mekkah.

Di tanah air, peringatan Asyura yang jatuh pada Jumat, 28 Agustus 2020 (malam) hingga Sabtu 29 Agustus (malam), bakal disambut meriah. Berbagai daerah kini melakukan persiapan menyambut 10 Muharam dengan cara unik. Sebut saja bagi suku Banjar, yang merupakan muslim Sunni di Kalimantan. 

Hari Asyura disambut dengan suka cinta. Warga setempat merayakannya dengan membuat bubur Asyura, dengan bahan dari beras dan campuran 41 macam bahan yang berasal dari sayuran, umbi-umbian dan kacang-kacangan. Bubur Asyura tersebut akan disajikan sebagai hidangan berbuka puasa sunat Hari Asyura. Wiuh, keren. 

Acara serupa juga terjadi di Pulau Madura. Warga membuat bubur dan kemudian dinikmati bersama-sama. 

Dalam perkembangannya, perayaan tersebut juga diperingati dalam bentuk lain. Seperti sudah menjadi agenda tahunan di  Aceh,  tradisi Muharam itu disebut  Asan  Usin, di Sumatra  Barat  punya tradisi  Tabuik,  Bengkulu  memiliki  tradisi  serupa yang disebut Tabut.  Sementara di  tanah  Jawa, - yang populer - adalah tradisi kirab di kraton Jogjakarta dan Solo.  

Tradisi  Muharam  di  Indonesia sungguh mengasyikan jika diikuti.  Ini merupakan kekayaan  tradisi  budaya  masyarakat yang melekat demikian lama.  Lalu, dari sini kita pun menyadari bahwa  persentuhan  Islam dengan  budaya  lokal membawa  pada  keberagaman tradisi yang  bernuansa Islam.

**

Perayaan Asyura di Indonesia diikuti oleh semua kalangan umat Muslim. Belakangan ini, sebagian umat Islam selalu mengangkat kisah terbunuhnya cucu Nabi Saw, Husain bin Ali di Karbala, saat peringatan Asyura.

Jika itu yang selalu ditonjolkan, dapat dipastikan pemahaman umat di kalangan akar rumput bakal menjadi sempit. Kesalehan sosial yang harus dibangun jadi hilang makna. Sebab, mereka dengan cepat memberi label sebagai pengikut Syiah yang harus dihadapi sebagai musuh.

Jika demikian, perayaan Tabut (di Bengkulu) dan acara serupa lainnya dianggap sebagai ritual Syiah. Ini menjadi bahaya, karena para pengikut Islam lainnya sangat berpotensi dibenturkan dengan mengatas-namakan agama bahwa hal tersebut sebagai perbuatan bid'ah, sirik dan seterusnya.

Bisa jadi, pada momentum itu, kelompok radikal digiring. Ujungnya, mereka membentuk laskar seperti yang terjadi di Solo, Jateng, belum lama ini.

**

Sebetulnya makna Hari Asyura itu sendiri adalah hari kesepuluh pada bulan Muharam pada kalender Hijriyah.

Lalu terjadi perbedaan sudut pandang tentang perayaan Hari Asyura itu. Hal ini sudah lama. Kelompok Syiah memberi makna sebagai hari berkabungnya atas kesyahidan Husain bin Ali, cucu Nabi Muhammad Saw pada Pertempuran Karbala tahun 61 H (680).

Sementara bagi kalangan Sunni meyakini bahwa Nabi Musa berpuasa pada hari tersebut untuk mengekspresikan kegembiraan kepada Tuhan karena Bani Israil terbebas dari Fira'un.

Bagi kaum Sunni, yang banyak dianut di Indonesia, Nabi Muhammad berpuasa pada hari tersebut dengan jumlah dua hari berpuasa. Karena itu, banyak warga ikut anjuran Nabi Saw.

Nah, lantaran perbedaan yang demikian kuat itulah, kita berharap hal tersebut dapat dijadikan sebagai "warning" bagi aparat.

Mengekpresikan kegembiraan keagamaan yang memiliki perbedaan sudut pandang dalam waktu bersamaan, sangat berpotensi terjadi benturan. Bahkan "digoreng" meski pandemi Covid-19 masih bertebaran.

Di negara demokrasi seperti Indonesia memang dibenarkan  mengeluarkan pendapat dan unjuk kebolehan seperti yang dilakukan koalisi "gaek", menyuarakan membela kaum lemah dan miskin. Namun, harus diingat, persatuan hendaknya lebih dikedepankan.

 

Salam berbagi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun