Terhadap rencana tersebut, saat itu juga, Â publik melontarkan reaksi beragam. Alasan paling mengemuka adalah tak patut kementerian membuat aturan bagi para penceramah. Passalnya, hal itu disebut sebagai sudah masuk pada ranah substansi agama.
Realitas di lapangan, kita pun sering mendapati, termasuk melalui media sosial, dijumpai dai atau mubaligh berceramah tak sesuai tuntunan ilmu. Bahkan "ngaur" dan kala membaca Alquran tak sesuai ilmu tajwid. Tak paham hadis dan sejarah Islam.
Tak sampai di situ, kadang dijumpai dai tak paham teknis berceramah sehingga pesan yang ditangkap mengesankan jauh dari upaya  menyejukan umat.  Para dai semacam ini sejatinya membuat repot petugas kepolisian, karena sangat berpotensi berujung pada pencemaran nama baik seseorang. Kalimat kebencian sering mengemuka.
Dan, harus dipahami, kini hadirnya masjid di tengah masyarakat tak sekedar sebagai fungsi sosial, seperti mengatur zakat, pendidikan dan dakwah, tetapi belakangan ini dimanfaatkan oleh kelompok tertentu. Bisa dari kalangan orang partai, kelompok muslim aliran keras dan masih banyak lagi.
Jangan lupa, kini banyak masjid yang dibangun dengan kekuatan keuangan seseorang. Orang bersangkutan -- yang berpengaruh itu -- kemudian menitipkan pesan hingga mewarnai isi dari setiap dai yang diundangnya.
Melihat realitas seperti itu, kini kita memang patut mengkaji serius perlu tidaknya sertifikasi bagi para dai. Bahwa alasan hal tersebut telah melanggar kebabasan ulama dalam menyampaikan ajaran ke publik, ya perlu dipikirkan kembali.
Sebab, masyarakat perlu kedamaian dalam beribadah. Bukan hatinya dicabik-cabik dan diombang-ambingkan dengan ceramah yang membingungan.
Kita tentu sepakat bahwa mencegah tersebarnya ajaran-ajaran provokatif kepada masyarakat lewat masjid-masjid atau tempat (rumah) ibadah lainnya sekarang ini jadi penting.
Sertifikasi sayogianya untuk membuktikan seorang dai mempunyai kompetensi lebih. Baik dalam hal penghafalan Alquran, pengertian Hadist, dan ilmu-ilmu agama lainnya.
Harapannya sih, ya saat seorang dai mempunyai sertifikat untuk menyampaikan ilmu kepada jamaah, lembaga manapun bisa lebih mempercayai dai tersebut karena dia telah ikut program sertifikasi.
Lalu, bagaimana dengan dai yang sudah terlanjur beken dan disenangai umat. Ya, biarkan saja. Eloknya, pemberian sertifikat itu tak wajib. Tapi, tentu saja "pasar" akan menilai seorang dai yang mumpuni dan berilmu. Bukan dai abal-abal, asal "ngejeblak".