Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Darahku Haram, Darahmu Halal

18 Agustus 2020   11:36 Diperbarui: 18 Agustus 2020   11:23 465
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pesan kerukunan antarumat juga diangkat dalam gambar hasil para pemuda di kawasan Ceger ini. Foto | Dokpri

Di Hari Kemerdekaan RI ke-75, soal darah masih jadi perbincangan hangat. Setidaknya, dari obrolan para orang tua ketika mengingat masa sulit di zaman kolonial. Mereka bicara penuh semangat kemudian dikaitkan Bendera Negara Indonesia Sang Merah Putih (Dwiwarna) berbentuk empat persegi panjang.

Kala kita masih duduk di sekolah dasar, para guru di depan kelas menerangkan kepada para murid bahwa bendera yang berwarna merah dan putih itu memiliki bagian ukuran sama. Warna merah dimaknai keberanian, sedangkan warna putih merupakan tanda kesucian.

Kita, sebagai bangsa yang besar, patut bersyukur dan bangga memiliki bendera negara dengan warna merah dan putih itu. Tentang kebanggan tersebut, maka warna merah dan putih itu diangkat dalam lagu berjudul Kebyar Kebyar. Pada kata pembuka lagu tersebut disebut Indonesia, Merah darahku, putih tulangku, Bersatu dalam semangatmu.

Sebelumnya juga ada lagu tentang bendera merah putih (ciptaan Ibu Sud) yang penggalan syairnya begini: Berdera merah putih, Bendera tanah airku, Gagah dan jernih tampak warnamu, Berkibarlah di langit yang biru, Bendera merah putih, Bendera bangsaku.

Lantas, bagaimana kemudian darah merah itu dapat dimaknai haram. Tentu saja karena ada sebutan haram, maka ada darah yang halal. Bagamana cara membedakannya?

Menggunakan logika, atau cara berfikir waras, sejatinya tidak dapat dibedakan mana darah yang halal dan haram. Secara fisik, darah ya darah. Tentang warnanya, semua orang sepakat, menyebut merah. Titik.

Barulah, dalam perspektif agama (Islam) dikenal darah halal dan haram. Untuk mudahnya, darah dari hewan kurban dilarang ditampung untuk dikonsumsi. Dulu, darah hewan yang disembelih warga, ditampung kemudian dibekukan. 

Orang Jakarta menyebutnya marus. Itu banyak dijual di pasar tradisional. Itu merupakan darah haram untuk dikonsumsi. Islam melarangnya. Termasuk ayam yang disembelih. Apa lagi hewan babi yang jelas-jelas dilarang.

Sebutan darah halal dan haram lantas berkembang luas di masyarakat. Seseorang disebut darahnya halal, maka orang yang membunuhnya punya posisi benar dalam ajaran agama yang dianutnya. 

Begitu sebaliknya. Orang tak berani melakukan pembunuhan, termasuk kepada hewan sekalipun, karena darahnya haram. Maksudnya, diharamkan melakukan pembunuhan.

Pesan kerukunan antarumat juga diangkat dalam gambar hasil para pemuda di kawasan Ceger ini. Foto | Dokpri
Pesan kerukunan antarumat juga diangkat dalam gambar hasil para pemuda di kawasan Ceger ini. Foto | Dokpri
Sungguh disayangkan, tentang pemahaman itu kemudian menjadi pemikiran sempit. Bahkan picik. Ketika unjuk rasa, untuk membangkitkan emosi peserta, pimpinan Ormas sering mengangkat dan menyebut darah halal sebagai bagian dari retorikanya. Hal itu disampaikan dengan lantang melalui pengeras suara.

Kita pun dalam suatu unjuk rasa sering mendengarkan teriakan "Allahuakbar, Bubar, Kafir".

Ketika laskar Solo melalukan penyerangan ke kediaman seorang habib, ada yang berteriak "Syiah bukan Islam, Syiah musuh Islam, darah kalian halal, Bunuh" dan lain sebagainya.

Sudah tentu, jika yang massa tengah beringas, tindakannya disertai penyerangan dan pengerusakan. Sejumlah mobil, seperti yang diakui Kapolresta Solo Kombes Andi Rifai melalui Kapolsek Pasar Kliwon Iptu Adhis Dhani, dirusaknya.

**

Hingga kini, Majelis Ulama Indonesia dan majelis agama-agama, belum pernah mengeluarkan kesepakatan tentang darah manusia mana saja yang dianggap halal dan haram.

Andai saja orang kafir, seperti yang disebut para pengunjuk rasa (laskar Solo),  disematkan kepada orang di luar keyakinannya, sungguh terlalu. Dikiranya, Indonesia yang diproklamirkan pada 75 tahun silam itu, kini menjadi miliknya semata.

Pertanyaannya, jika tak sudi dengan syiah hadir di negeri yang majemuk ini, mengapa mereka (kelompok laskar Solo itu) tidak memerangi syiah ke Iran atau negara lain di Timur Tengah?  

Aktivitas warga tetap semangat di tengah pandemi Covid -19. Foto | Dokpri.
Aktivitas warga tetap semangat di tengah pandemi Covid -19. Foto | Dokpri.
Kita sudah 75 tahun Merdeka. Namun kita belum merdeka dari intoleransi dan radikalisme. Bapak Proklamator, Ir. Soekarno, sudah mengingatkan kepada kita. Katanya: "Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, namun perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri".

Seperti sudah jadi agenda tahunan, kala Pilkada dan Pilpres bangsa ini disibukan dengan perbedaan yang sejatinya sudah menjadi sunatullah, namun "digoreng" dengan instrumen agama. Maka pencuatlah ke permukaan persoalan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).  

Kita hadir di bumi Pertiwi ini bukan atas kehendak pilihan sendiri. Tidak minta dilahirkan di negeri kaya atau miskin, tapi sudah kehendak Ilahi. Kita pun tidak minta dilahirkan dari seorang ibu berwarna kulit putih atau hitam, tapi sudah ditentukan Allah, Tuhan Yang Maha Esa.

Lantas, mengapa harus mengatakan kepada sesama anak bangsa bahwa darahmu halal dan darahku haram?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun