Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pancasila di "Sangkar Emas"

31 Mei 2020   21:16 Diperbarui: 31 Mei 2020   21:14 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Enam tahun silam rekan penulis, Boyke Soekapdjo mengungkapkan kejadian unik, yaitu peristiwa seorang murid sekolah – dalam suatu upacara bendera - menyampaikan pengucapan Pancasila.

Kita, hingga kini, pun masih ingat bahwa Pancasila dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, ditetapkan sebagai dasar negara pada tanggal 18 Agustus 1945.

Dalam pelajaran sejarah, tentu masih melakat di benak sebutan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang kemudian mengangkat Pancasila sebagai penjelmaan kehendak seluruh rakyat Indonesia yang merdeka.  

Beranjak dari itu, maka Pancasila punya arti penting bagi bangsa Indonesia. Karena demikian pentingnya, lantas pada setiap upacara bendera di sekolah (hari Senin), seperti juga kita ketika masih sekolah, diwajibkan ikut pengucapan Pancasila.

Ini adalah upaya bagian dari pendidikan mulai sejak sekolah dasar hingga dewasa untuk menanamkan pemahaman Pancasila dalam sanubari di setiap warga.

Sang murid dengan penuh percaya diri tampil ke hadapan deretan guru yang hadir. Rekan sekelas mereka berbaris rapi di belakangnya. Perhatikan dengan bunyinya yang begini: "Satu, Pancasila. Dua, Ketuhanan Yang Maha Esa. Tiga, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Empat, Persatuan Indonesia. Lima, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan,"  

"Enam, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia."   

Beda dengan kejadian di kediaman penulis. Kala anak-anak masih duduk di sekolah dasar, mereka diajari pengucapan Pancasila. Mereka hafal. Saking hafalnya, pembacaan itu diulangi lagi yang kemudian terdengar burung Beo yang di pelihara di pelataran muka rumah.

Lalu, saking seringnya si Beo mengucap Pancasila, ketika belum diberi makan suaranya lebih nyaring sambil menyebut Pancasila sesuai urut-urutannya dengan benar. Tidak seperti sang murid sekolah tadi.

Beo yang ditempatkan di kandang (sangkar) dengan bagus itu selalu saja menyuarakan Pancasila dengan keras ketika sang tuannya belum memberi makanan (buah) kesayangannya.

Jika saja sang Beo diajak bertanding atau kompetisi dengan murid sekolah dalam hal pengucapan Pancasila, boleh jadi dialah yang keluar sebagai pemenangnya.

**

Di Jalan Haji Koteng, Cipondoh, kawasan Tangerang, Banteng, penulis pernah menyaksikan soerang pemelihara burung dengan rajinya membersihkan sangkar burung. Tentu, si burung dimandikan dengan penuh kasih sayang.

“Ini Berlian. Lagi minta disayang,” kata sang pemilik sambil menyebut nama burung kesayangannya itu.

Kala ia bersuara keras sambil meloncat ke segala arah di dalam sangkar, kata sang pemilik, itu pertanda Berlian minta perhatian. Kala udara panas, biasanya ia senang dimandikan.

Kenapa tidak ditempatkan di ruang ber-AC agar lebih nyaman? Tanya penulis.

“Ya, enggak lah. Ia harus hidup seperti di udara bebas meski tetap berada di dalam sangkar. Sangkar ditempatkan di bawah pohon rindang dan selalu diawasi,”  ia menjelaskan.

Berlian telah menghasilkan uang besar bagi sang pemilik. Sebab, dalam berbagai lomba atau kompetisi kicau burung selalu tampil sebagai juara.

Lomba burung berkicau, sebelum pandemi Covid-19, sangat ramai. Perhelatan burung berkicau itu digelar di sebuah lapangan. Pada event itu biasanya ribuan peserta ikut ambil bagian.

“Berlian pernah memenangkan kompetisi itu,” kata sang pemilik dengan bangga.

**

Bercermin dari kisah burung dalam sangkar dan perlakuannya tadi, patut diingat musisi Bartje van Houten (1950-2017). Musisi terbaik Indonesia itu meninggal dunia pada Jumat, 5 Mei 2017. Salah satu lagu kelompok band D'Lloyd itu berjudul Hidup di Bui.

Syair lagu itu di antaranya berbunyi hidup di bui bagaikan burung, bangun pagi makan nasi jagung. Tidur di ubin pikiran bingung, apa daya badanku terkurung.

Dewasa ini, jika mau jujur dengan diri sendiri dan melihat kehidupan ber-Pancasila dan relevansinya berbangsa, sepertinya kita belum mampu mengamalkan kelima sila dengan baik. Kenapa? Karena bingung dan terkurung seperti disebutkan Bartje tadi.

Pancasila ditempatkan dalam sangkarnya yang indah, terbuat dari emas.

Padahal, seperti disebut rekan penulis di atas, yang hingga usia 60-an masih tetap dipanggil Boy itu, pergulatan pendiri bangsa dalam mengupayakan panduan bagi perjalanan bangsa tampak diabaikan.

Dan insan Indonesia saat ini berusaha membuat sejarah sendiri tanpa mengetahui bahwa yang diwacanakan kini sudah terjadi pada masa lalu.

Warga Indonesia tampak terkena "kutukan" Santayana bahwa orang akan mengulangi sejarah karena mengabaikan Pancasila.

Kajian Pancasila Universitas Airlanggar pada 2011 dan kajian dari pakar lain mendapati keterbukaan bergaya liberalisme membuat perkembangan moral bangsa Indonesia dipakai “bancakan” oleh paham bersaing, yaitu liberalisme, sektarianisme dan primordialisme.

Sungguh terasa, Pancasila ditinggalkan, baik dalam kehidupan sehari-hari di lapisan bawah maupun di tingkat pembuat keputusan. Peringatan Pancasila Sakti terasa hanya pemenuhan kewajiban berkala.

Pancasila dipertahankan dan ditempatkan di sangkar emas, sementara untuk perjalanan hidup dipakai asas lain. Kemubaziran dan sikap mendua menjadi keniscayaan.

Apakah kita masih terus menerus mengimplementasikan Pancasila sebatas hafalan yang dilakukan seperti murid sekolah di atas? Atau ikut burung beo yang dipelihara penulis.

Memahami dan mengamalkan Pancasila sayogiaya menjadi kebutuhan dalam kehidupan sehari-hari.

Hindari, jangan sampai badan hidup terasa mati.

Salam berbagi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun