Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerita Mini | Akhirnya Mamat Bisa Bedakan Ustaz dan Preman

18 Mei 2020   10:11 Diperbarui: 18 Mei 2020   10:21 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Di bulan suci Ramadan dan di tengah pandemi Cornona, sungguh terlalu Bang Mamat baru bisa membedakan antara guru mengaji dan silat.

Kalau bukan lantaran isterinya, Soadah, yang getol nyap-nyap  melarang suaminya keluyuran di malam hari saat pandemi Corona, bisa jadi Bang Mamat enggak  paham siapa sesungguhnya guru ngaji sejati dan guru silat.

Bang Mamat memang banyak belajar ngaji dan main silat di berbagai perguruan. Permainan silatnya boleh dibilang membanggakan. Premen pasar yang mengaku juawara sudah dapat dijatuhkan dengan sekali gebrakan.

Tapi belakangan ini justru Bang Mamat dibenci rekan-rekan seperguruan yang berhasil dikalahkan ketika tampil di forum latihan bersama.

Bahkan salah satu guru silatnya pun, akhir-akhir ini merasa khawatir Mamat jadi “besar kepala” karena ilmu silatnya makin terlihat sempurna. Mamat memang tak belajar silat dari satu perguruan saja, tetapi juga dari perguruan lain.

Seperti di perguruan Angin Puting Beliung, ia belajar silat sekaligus pula belajar ngaji dari sang gurunya. Ya, ngaji seperti juga kebanyakan orang Betawi dengan sang ustaz yang merangkap sebagai guru silat.

Tapi, ada di antaranya guru silat tak bisa mengajar ngaji. Pandainya, ya main silat. Kata orang Betawi, sang guru itu sudah seperti preman. Bisanya cuma main pukulan.

“Itu, tuh cantohnya si Jabrik. Pandai silat tapi sering godain janda kampung sebelah,” ucap Saodah.

Nah, di sini Bang Mamat diminta oleh sang isteri tercinta untuk membedakan mana guru silat sejati dan guru silat “sepuan”. Maksud guru silat sepuan, ia pandai main pukulan semata tetapi tidak menanamkan akhlak mulia kepada para muridnya.

“Abang, kudu bisa membedain, enggak?” tanya Saodah dalam dialek Betawi makin mendok. Saat itu pasangan suami isteri ini tengah ngobrol santai dalam sambil  menanti suara azan magrib sebagai tanda buka puasa.

Bang Mamat tak memberi jawab tegas. Ia hanya menggelengkan kepala.

Dulu, kata Saodah, orangtua tak pilih kasih menurunkan ilmu. Ya, ilmu silat atau pun ilmu mengaji plus pembinaan akhlaknya disertai juga.

Tidak pilih kasih maksudnya, apakah dia anak perempuan atau lelaki, tetap digembleng. Semua harus belajar maen puikulan.

Main pukulan dimaksudkan bukan untuk membela diri. Tapi dimaksudkan untuk menjaga diri. “Abang harus bisa bedain antara membela diri dan menjaga diri,” pinta Saodah yang disambut anggukan kepala Mamat sambil senyum.

Sungguh, di tengah pandemi Covid-19 ini, Saodah merasa beruntung menyaksikan suaminya banyak di rumah. Ia banyak berdiskusi berbagai hal hingga akhirnya pembicaraannya lebih dominan. Maklum Soadah itu anak kiayi, saudaranya banyak jadi ustaz dan ustazah.

Disamping belajar ngaji dan Bahasa Arab, Saodah juga belajar silat dari orangtuanya. Namun berbeda dengan Bang Mamat, kebanyakan belajar ilmu silat doang yang gurunya tak pandai baca tulis Alquran. Kalaupun suaminya belajar ngaji, itu dari ustaz lain di luar guru silat.

Sebetulnya perbedaan antara guru silat dan ustaz, dalam kehidupan keseharian, mudaha sekali.

“Abang, kan sering diajak keluyuran malam hari. Siapa yang sering ngajak kalau bukan si Jabrik?” tanya Saodah.

“Iya,” jawab Mamat.

Jadi, tegasnya, perbedaan guru silat dan ustaz itu lebih banyak pada perlakuan dan perasaan. Dalam kehidupan keseharian, kalau murid guru silat itu menyaksikan murid makin pandai, maka jelas-jelas dikhawatirkan dapat menyaingi gurunya.

“Abang sudah merasakan, si Jabrik itu sekarang mulai membenci abang. Iya, kan?” kata Saodah.

Lantas Saodah melanjutkan celotehnya. Kalau guru ngaji merangkap ustaz menyaksikan muridnya pandai, maka ia sering mengucapkan rasa bersyukur. Berbeda dengan guru silat (doang), sangat berpotensi sang guru “cemburu”, takut dikalahkan murid di kemudian hari.

“Abang, merasakan itu. Iya, kan?”

Mamat menjawab dengan anggukan kepala.

"Abang jangan ikuti kelakuan si Jabrik yang doyan godain janda dan perawan di kampung sebelah.  Jabrik itu tidak pantas dijadikan guru silat, apa lagi sebagai teman pergaulan sehari-hari. Bakal rugi bergaul dengan orang enggak benar," pinta Saodah.  

Salam berbagi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun