Dulu, kata Saodah, orangtua tak pilih kasih menurunkan ilmu. Ya, ilmu silat atau pun ilmu mengaji plus pembinaan akhlaknya disertai juga.
Tidak pilih kasih maksudnya, apakah dia anak perempuan atau lelaki, tetap digembleng. Semua harus belajar maen puikulan.
Main pukulan dimaksudkan bukan untuk membela diri. Tapi dimaksudkan untuk menjaga diri. “Abang harus bisa bedain antara membela diri dan menjaga diri,” pinta Saodah yang disambut anggukan kepala Mamat sambil senyum.
Sungguh, di tengah pandemi Covid-19 ini, Saodah merasa beruntung menyaksikan suaminya banyak di rumah. Ia banyak berdiskusi berbagai hal hingga akhirnya pembicaraannya lebih dominan. Maklum Soadah itu anak kiayi, saudaranya banyak jadi ustaz dan ustazah.
Disamping belajar ngaji dan Bahasa Arab, Saodah juga belajar silat dari orangtuanya. Namun berbeda dengan Bang Mamat, kebanyakan belajar ilmu silat doang yang gurunya tak pandai baca tulis Alquran. Kalaupun suaminya belajar ngaji, itu dari ustaz lain di luar guru silat.
Sebetulnya perbedaan antara guru silat dan ustaz, dalam kehidupan keseharian, mudaha sekali.
“Abang, kan sering diajak keluyuran malam hari. Siapa yang sering ngajak kalau bukan si Jabrik?” tanya Saodah.
“Iya,” jawab Mamat.
Jadi, tegasnya, perbedaan guru silat dan ustaz itu lebih banyak pada perlakuan dan perasaan. Dalam kehidupan keseharian, kalau murid guru silat itu menyaksikan murid makin pandai, maka jelas-jelas dikhawatirkan dapat menyaingi gurunya.
“Abang sudah merasakan, si Jabrik itu sekarang mulai membenci abang. Iya, kan?” kata Saodah.
Lantas Saodah melanjutkan celotehnya. Kalau guru ngaji merangkap ustaz menyaksikan muridnya pandai, maka ia sering mengucapkan rasa bersyukur. Berbeda dengan guru silat (doang), sangat berpotensi sang guru “cemburu”, takut dikalahkan murid di kemudian hari.