Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerita Mini | Mamat Kelilipan, Saodah yang Menangis

9 Mei 2020   17:34 Diperbarui: 9 Mei 2020   17:43 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah dua minggu puasa dijalani. Tapi si Mamat tingkah lakunya makin aneh. Isterinya, Saodah makin jengkel. Tapi, ya itu dipendamnya. Jangan sampai rumah tangga gaduh lantaran persoalan sepele.

"Selama itu tidak prinsip, tidak ada apa. Keharmonisan rumah tangga harus dipelihara," pikir Saodah menyikapi kelakuan suaminya yang dinilai makin aneh dalam menjalani puasa Ramadan itu.

"Ini sulaman enggak jadi-jadi. Kesel sih rasanya," kata Mamat suatu sore.

"Abang ini nyulam apa. Barang yang dikerjakan saja tidak nampak. Malah menyebut tidak jadi-jadi," sambung Saodah sambil melangkah mendekati Mamat.

"Mata abang ini kelilipan melulu," kata Mamat.

Mendengar ucapan Mamat bahwa matanya kelilipan, Saodah makin bingung. Sebab, tak nampak mata Mamat memerah, apa lagi tanda lainnya seperti bekas dikucek-kucek.

"Terus, apa setelah itu," kata Saodah menahan rasa heran dengan jawaban yang diberikan suami tercintanya itu.

"Gini, ma!" kata Mamat.

Lalu, Mamat terdiam. Lama ia menahan untuk melanjutkan pembicaraannya.

Saodah pun tak bicara. Ia lebih banyak memperhatikan sang suami berdiam diri. Seolah sedang mencari tahu apa yang menyebabkan Mamat punya perilaku berbeda dari sebelumnya. Mamat bukan lagi seperti yang dulu. Mamat selama Ramadan ini telah berubah dari sebelumnya.

Kalau ia ngotot untuk shalat di masjid pada saat pandemi Covid-19 ini, itu adalah haknya. Sebagai isteri hanya bisa mengingatkan agar ia tetap mematuhi protokol kesehatan. Gunakan masker ketika di luar rumah, jaga jarak fisik dengan sesama ketika bicara dan seterusnya.

Namun bila dicermati, perubahan dari diri Mamat adalah sikapnya itu. Mamat sering berceloteh seorang diri dengan menyebut dirinya gagal. Gagal dan gagal lagi.

Lantaran tak tahan menanti sang suami buka mulut untuk bicara. Saodah mencari siasat, menggunakan pendekatan seperti dulu ketika Mamat merayu dirinya hingga jadi pacar lalu kini hidup bahagia sebagai suami-isteri.

Didekatinya Mamat yang tengah duduk di kursi tamu. Kemudian Saodah memaksakan duduk di sampingnya. Maka, jadilah sebuah kursi tamu ukuran buatan Jepara itu jadi sempit karena ditempati dua orang.

Mamat terlihat malu-malu. Tapi, pikirnya, karena tak ada orang lain di kediamannya saat itu, cara isterinya untuk bicara dari hati ke hati terasa lebih nyambung.

"Iya, ma!"

Papa ini sekarang tengah menyulam. Siang dan malam banyak berdoa agar hasil sulaman pada akhir Ramadan dapat dipandang indah. Paling tidak, meninggalkan kesan pada diri sendiri bahwa Ramadan sebagai ladang amal telah dikerjakan dengan optimal.

"Itu yang dimaksud menyulam, ma?" ujar Mamat yang disambut anggukan kepala isterinya.

Saodah masih terus menatap mata Mamat. Ia makin serius menikmati celoteh sang suami yang memang terlihat makin relegius. Kala dipandang, Saodah makin menikmati dan membayangkan masa-masa terindah kala tengah pacaran dihalang-halangi orangtua mereka karena keduanya berbeda latarbelakang.

Mamat yang bermata sipit dianggap keturunan China, sementara Saodah berasal dari kalangan terpelajar dan berlatarbelakang pesantren. Namun, dalam perjalanan bahtera rumah tangga, Mamat terlihat lebih relegius dalam kehidupan sehari-hari.

"Iya, sekarang bisa dipahami. Itu maksud pengertian menyulam saat Ramadan yang tak kelihatan kain dan benangnya," sahut Saodah.

"Tapi, mengapa bicara seorang diri dengan menyebut gagal. Gagal dan gagal lagi?" tanya Saodah dengan nada mendesak.

"Abang, kan waras?" tanya Saodah dengan nada bergurau.

"Iya, waras," sahut Mamat.

Lantas Mamat angkat bicara. Jika masih ragu dengan kesehatan jiawanya,  ia menawari untuk mendampinginya ke rumah sakit jiwa. Biar tuntas, kita sama-sama yakin bahwa dalam berumah tangga dijalani dengan sehat jasmani dan rohani.

"Dengan begitu, tidak ada dusta di antara kita," kata Mamat.

"Nah, soal abang kelilipan. Itu memang betul terjadi. Setiap hari," katanya.

Nah, sampai di sini, Saodah jadi bingung. Kelelilipan benda apa. Yang namanya kelilipan itu, mata kemasukan debu. Atau batu kecil sehingga di mata terasa gatal atau perih. Tapi ketika kelilipan, sang suami tak pernah minta dicarikan obatnya.

"Abang kelilipan perempuan!" kata Mamat.

Mendengar kata perempuan dari mulut sang suami, Saodah bingung dan curiga. Sebagai wanita yang setia menemaniya bertahun-tahun, tentu saja muncul cemburunya. Dadanya berdegub keras. Dan, Mamat merasakan getaran itu.

Tanpa sadar, kepalan tinju Saodah mendarat ke dada Mamat. Sekali dipukul, Mamat diam. Dua kali pukulan mendarat, Mamat diam sambil menahan sakit. Tiga kali pukulan, Mamat menangkap bogem Saodah. Lalu, ia beruapa menenangkan diri isterinya yang tengah memuncak cemburu buta.

"Dengarkan, bicaranya belum selesai!" pinta Mamat dengan suara meninggi.

Saodah diam. Namun suara tangisnya makin keras. Untuk meredam suasana cepat tenang, Mamat mengeluarkan ultimatum.

"Kalau tak juga diam, tidak menghentikan tangis, selamanya abang tak akan bicara lagi di rumah ini!" ancam  Mamat kepada Saodah.

"Bagaimana enggak kelilipan, enggak bisa selesaikan sulaman, kalo tiap hari melalui WA abang dikirimi gambar perempuan-perempuan porno?"

Salam berbagi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun