Berkali-kali berkunjung ke kota Cirebon. Bukan hanya sekedar untuk tujuan kerja, tetapi juga mengunjungi beberapa anggota keluarga. Penulis sering pendapat kehormatan diajak makan nasi Jamblang, lokasinya tak jauh dari alun-alun kota tersebut. Tepatnya, di tepi jalan pada malam hari.
Ketika duduk di atas tikar tengah menikmati nasi jamblang, ingatan penulis menerawang ke berbagai jenis makanan nasi. Saat seperti ini, bikin Lapar Mata saat Ramadan. Ragam nasi di Indonesia, ada yang disebut nasi padang, nasi uduk, nasi kuning, nasi kucing dan terakhir yang lagi populer adalah nasi anjing.
Namun pada kesempatan itu penulis diingatkan soal makan nasi. Katanya, makan nasi terlalu banyak sangat tidak dianjurkan bagi orang penderita diabetes. Makan secukupnya, berhenti sebelum kenyang sangat dianjurkan. Hidup seimbang dengan makanan halal dan baik dengan gizi bagus sangat ditekankan oleh para ahli kesehatan.
Nah, lalu pembicaraan melebar. Belakangan ini soal makan nasi bisa menjadi persoalan. Bukan pada halal dan baik (toyib) yang berpotensi dipersoalkan, tetapi juga siapa yang memasak, siapa yang mengemas hingga siapa yang  mengonsumsinya.
Kala penulis bermukim di Pogung Lor, Yogyakarta, makan nasi kucing sampai lima bungkus tak dipersoalkan. Namun menjadi persoalan bagi diri pribadi ketika nasi yang dikonsumsi terlalu banyak hingga gula darah naik.
Bagi warga di luar Yogyakarta, kala mendengar nasi kucing, mereka akan merasa bingung dan bertanya-tanya. Tapi, mendengar sebutan nasi dikaitkan dengan kucing saja, membuat banyak orang jadi tertawa ngakak.
Nasi kucing memang ukurannya kecil. Bagi mahasiswa yang hidupnya prihatin mengonsumsi nasi kucing bukan hal tabu. Itu tinggal disesuaikan saja dengan isi kantong. Kala kiriman uang dari orangtua berkurang, makan nasi kucing tetap terasa nikmat ditambah dengan kerupuk plus kecap. Kita tak tersinggung, apa lagi terhina, kala mengonsumsi nasi kucing.
Jangan dikaitkan lantaran makan nasi kucing lalu kuliahnya tak kunjung selesai. Tak ada hubungannya. Kalaupun kalimat itu muncul, harus dimaknai sebagai guyonan.
Lantaran ukurannya yang kecil itu, belakangan sebutan nasi kucing mendapat saingan. Yaitu nasi anjing, ya tentu saja ukurannya lebih besar. Â Publik tentu paham mengapa disebut nasi anjing? Bagi yang belum paham, bisa dicari melalui si embah google.
Yang jelas, nasi ini berawal dari peristiwa nasi bungkus yang dicap kepala anjing. Nasi anjing jadi populer lantaran dibagikan kepada orang miskin yang kemudian memunculkan protes karena merendahkan derajat manusia.
Andai saja yang membagikan nasi tersebut bungkusannya dicap kepala gajah, bisa jadi disebut nasi gajah. Â Bisa jadi yang tersinggung hanya anak penulis. Sebab, ia punya nama Ganesa. Sebaiknya, agar terkesan syariah, dicap gambar onta saja.
Beruntung rekan penulis yang punya kebiasaan dan rajin membagikan nasi bungkus pada Jumat pagi -- untuk para pemulung di pinggir jalan -- tidak dicap berupa tulisan dan gambar. Pokoknya, ia pada pagi hari  memesan nasi bungkus ke rumah makan padang yang jadi langganan. Lalu, ia membangikannya sambil bersepeda berkeliling menjumpai pemulung.
Penulis menyaksikan perjalanan orang itu hidupnya berkah. Memberi sumbangan tak perlu memberi penjelasan kepada awak media. Ia bergerak dalam kesunyian memberi nasi bungkus kepada warga miskin.
Tapi, untuk mendapat kepastian, nasi apa yang dibagikan setiap Jumat pagi itu? Ia sambil malu-malu menyebutnya nasi padang. Nasi ini, meski disebut nasi padang tak pernah diberi tulisan nasi padang. Penulis jadi ingat, nasi padang yang terkenal dengan rendangnya itu sudah kesohor sampai ke negeri Arab.
Mau buktinya? Perhatikan, kala jemaah haji berangkat ke Tanah Suci dari Bandara Minangkabau, Sumatera Barat, anggota jemaah haji dibekali rendang dari Pemda setempat. Keren, kan?
**
Sebelum Covid-19 dan diberlakukan PSBB, di Jakarta banyak dijumpai rumah makan dengan menu nasi uduk. Bahkan banyak warga Betawi membuka rumah makan dengan tenda di tepi ruas jalan raya. Biasanya di tenda ditulis Nasi Uduk Betawi.
Di sini, penulis tak menyebut apa resep membuat nasi uduk. Yang jelas, kala kita menikmati nasi uduk tersaji lauk-pauk berupa tempe, ayam goreng, sambal dan lalapan. Lebih asyik mengonsumsi nasi udik pada malam hari bersama rekan.
Di Kalimantan, seperi Pontianak, Balikpapan, Banjarmasin dan Samarinda, sangat populer nasi kuning. Sebagai orang yang gemar makanan khas nusantara, yang membedakan nasi uduk dan nasi kuning terletak pada warna dan lauk pauknya. Untuk nasi, cita rasanya sih seperti nasi uduk (ulam/lemak). Perbedaan yang menonjol pada warna nasi.
Lantas bagaimana dengan nasi rames? Nah, yang ini penulis tidak paham bagaimana mengolahnya. Jenis makanan nasi rames ini banyak hadir di sejumlah rumah makan di kota-kota pulau Jawa. Â Yang terkesan pada makanan ini, ya lezat dan tak pernah menghindar jika ditawari untuk nambah.
Indonesia memang kaya dengan kulinernya. Sebagai orang yang sering bepergian, jika diperhatikan dari wilayah Indonesia Timur hingga Indonesia Barat, kekuatan makanan terletak pada bumbunya. Dengan lauk pauk sederhana sekalipun tetap enak.
Sebut saja nasi jamblang. Rekan penulis pernah bercerita bahwa awal nasi ini dari kepiawaian memasak Tan Piaw Lun, seorang isteri dari keluarga kaya raya keturunan Kanoman. Orang Jamblang menyebut Tan Piaw Lun dengan sebutan Nyai Pulung Karna.
Nyai Pulung adalah keturunan buyut Cigoler (Njoo kit Tjit) pendiri Klenteng Jamblang. Â Kelahiran nasi Jamblang erat dengan peristiwa pembangunan jalur kereta Api dari pelabuan Cirebon menuju Kadipaten pada 1885.
Para pekerja pemasangan railway kebanyakan berasal dari Kuningan dan Indramayu. Kehidupan para pekerja itu sangat prihatin. Ya, maklumlah saat itu zaman kolonial. Prihatin dengan nasib pekerja, Nyai Pulung dan anggota keluarganya berinisiatif memberi bekal makan gratis.
Lalu, dibuatlah nasi yang dberi menu berupa ikan asin, tempe, tahu, cemplung, bregedel kentang dan sambal yang kemudian dikemas dengan daun jati. Kala itu, dibelakang rumah Nyai Pulung banyak tanaman pohon jati.
Nasi ini kemudian dibagi secara gratis kepada pekerja. Nasi dan lauknya enak dimakan, awet, tidak basi sampe malem dan murah, itulah yang kemudian dikenal sebagai nasi jamblang. Setelah jalur railway kadipaten selesai, Â maka di Jamblang dibangun Stasiun Jamblang. Â
Ke depan, sangat berpotensi sebutan nasi dengan embel-embel di belakangnya akan bermunculan. Jenis nasi dengan ragam menunya itu hadir dengan dilatarbelakangi peristiwa, kondisi lingkungan, asal daerah hingga inisiatif pembuatnya. Semua itu adalah warna dari kekayaan budaya negeri. Yang perlu dijaga, jangan soal nasi kemudian jadi lahan pencarian pencitraan bagi seseorang. Apa lagi dijadikan komiditas politik.
Salam berbagi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H