Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menanti Pembenahan Pembagian Sembako yang Amburadul

23 April 2020   09:22 Diperbarui: 23 April 2020   09:56 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ngamuk. Marah dan merasa tidak diperlakukan sebagaimana mestinya. Mata mengherdik. Saling menyalahkan dan memaki.

Itulah warna dari pembagian sembako di kawasan pinggiran Kecamatan Ceger, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur. Tak perlu disebut di RT dan RW berapa. Yang jelas bantuan ditujukan kepada kalangan orang miskin atau tidak mampu, eh tahu-tahu ada orang kaya, punya mobil pula menerima bantuan.

Lantas, muncul kesan, si penerima itu lantaran punya kedekatan dengan pengurus RW. Di sisi lain, ada warga memaki pengurus RT dan RW lantaran ia tidak menerima bantuan sembako.

"Pak haji itu menerima bantuan sembako. Padahal ia orang kaya?" sebut seseorang di tengah kerumunan.

Sungguh terlalu, orang kaya masih mau menerima bantuan sembako. Bukan malah dikembalikan, malahan diterimanya sebagai suatu kehormatan. Dikiranya ia warga istimewa. Hahahaha....

Menariknya, ada di antara orang yang marah-marah di keramaian saat pembagian sembako itu berceloteh tak sebagaimana mestinya.

Ujungnya, ia menyebut, tak penting menerima bantuan. Hanya saja, ia mempertanyakan mengapa tetangganya yang kaya menerima bantuan sementara dirinya tidak.

"Tidak menerima bantuan juga tidak mengapa?" ujarnya.

"Saya masih mampu membeliya tiga kali lipat!" ia menambahkan.

Wuih, ternyata orang itu masih mampu membeli sembaki berkali lipat dari warga yang menerima bantuan tetapi masih mengamuk, marah dan memaki tidak menerima bantuan. Ada apa?

Di tengah keramaian warga penerima bantuan, sembako diturunkan dari mobil langsung ke halaman masjid. PaK Ustaz, sebagai pengurus masjid, jadi "kelabakan". Pasalnya, ia tidak tahu menahu urusannya soal pembagian sembako itu.

Wah, jadi tambah seru deh. Rupanya tak ada koordinasi antara pengurus RT dan RW tentang rencana pembagian sembako bagi warga tak mampu.

Pengurus RT memang sudah mendapat informasi prihal rencana pembagian sembako. Tapi, tentang waktu dan lokasinya belum ditetapkan. Sedangkan pihak RW menyerahkan penyaluran itu kepada RT. Wuih, jadi kacau.

Pihak RT sendiri yang sudah menerima daftar nama penerima sembako, sayogianya lembaran warga berhak menerima sembako itu ditempel di Pos Hansip. Sementara di tengah keramaian ketua RT tak di tempat.

"Lagi main gaplek kalee. Atau lagi mancing," teriak seorang warga dari kejauhan.

Pak RT ini memang punya kebiasaan atau hobi berbeda dengan warganya. Kalau lagi kesepian, ya ngajak rekan-rekannya main gaplek. Kalau tak ada teman, ya pergi ke tempat pemancingan.

Lebih banyak urusi hobi ketimbang kepentingan warga. Gitu kata warganya. Tapi, biarlah urusan dia. Sayangnya, di tengah suasana genting dan menjurus kepada keributan antarwarga penerima sembako itu, sang ketua yang tengah dibutuhkan kehadirannya, malah tak nampak batang hidungnya.

Pak RW pun tak nongol. Wuih, terasa deh riuhnya.

Lantaran tak ada pengurus RT dan RW dalam pelaksaan pembagian sembako itu, ya terpaksa Pak Utaz ambil alih persoalannya. Namun sebelum ia bertindak, kepada seluruh warga yang berhak menerima bantuan tersebut, sang ustaz bicara dengan suara agak keras.

Katanya, ia mengambil alih persoalan itu lantaran tak ada pihak yang bertanggung jawab. Siapa yang meletakkan seluruh sembako di halaman masjid pun, sang ustaz tak tahu menahu.

"Tahu-tahu sudah ngejonggrok di situ.  Enggak izin pula," ujar seorang sambil melengos.

Sungguh, setelah diperiksa secara seksama, selain memang bantuan tak tepat sasaran juga data yang diterima tak sesuai dengan fakta di lapangan. Bagamana mungkin orang yang sudah lama pindah dari RT setempat kemudian masih didaftarkan sebagai penerima bantuan.

Bukan satu atau dua orang saja, tetapi lebih dari empat kepala keluarga. Sementara orang yang seharusnya tidak menerima, eh tahu-tahunya menerima. Ini bisa menimbulkan kecemburuan sosial. Tetapi ada pula warga asli penduduk setempat marah-marah lantaran merasa tidak dihormati karena tidak menerima bantuan.

Padahal ia orang mampu. Jadi, bantuan itu dipandang sebagai suatu kehormatan. "Enggak malu, tuh," ujar sang ustaz.

"Ini orang sesat pikir," tambah sang ustaz sambil melempar senyum.

Kalau dihitung, jumlah bantuan yang disalurkan kepada warga berhak menerima tak sesuai dengan jumlah orang di lapangan. Artinya, bantuan sedikit tetapi penerimanya lebih banyak.

Bagaimana solusinya? Sang ustaz mengambil jalan tengah bagi warga yang sudah "hengkang" dari RT setempat namun didaftar menerima bantuan, bantuannya tak diberikan. Tetapi disalurkan kepada warga miskin lainnya yang memang membutuhkan.

Tentu saja itu masih kurang. Solusinya, itu rahasia pak ustaz. Pokoknya, pelaksanaan pembagian sembako yang berlangsung hingga sore hari itu tidak menimbulkan gaduh.

Untuk ke depan, ia berharap pembagian sembako bagi warga miskin sebagai dampak pandemi Covid-19 atau virus corona itu dapat dilaksanakan dengan baik. Siapa yang harus bertanggung jawab, siapa pula yang berhak menerima bantuan. Harus jelas.

"Kita ingin segera ada perbaikan," harap sang ustaz.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun