"Ini tidak adil," kata Dogol tiba-tiba dengan suara meninggi.
Seharusnya, para ulama dan ustaz -- termasuk pengurus Majelis Ulama Indonesia -- meluruskan pandangan itu. Bahwa orang yang menolak jenazah terpapar virus Corona adalah sebagai perbuatan dosa besar. Sebab, kata Dogol dengan gaya bicara seorang petinggi, kalau ikut makna atau pengertian kifayah yang ada, para penolaknya ikut terbebas dari dosa.
"Enak benar dia. Ini tidak adil, kan?" ujar Dogol yang seolah memaksakan pendapatnya untuk diterima.
Ya, sudah. Sekarang jelas mengapa Dogol menangis. Yang jelas, kini orang yang menolak jenazah petugas kesehatan itu sudah diamankan petugas. Kita memang prihatin. Sebab, pelakunya adalah tokoh masyarakat setempat.
Memang, jika kita mau membuka lembaran literatur dari pengertian fardu (ain dan kifayah), di situ tertulis jelas  bahwa meninggalkan fardu berarti mendapat konsekuensi dosa, sedang melaksanakannya mendapat konsekuensi kebaikan (pahala).
Bagai anak kembar seperti yang dilukiskan Dogol tadi, Fardu Ain dan Fardu Kifayah berjalan beriringan. Fardhu Ain diwajibkan kepada individu-individu, sementara Fardu Kifayah akan gugur bila telah dilaksanakan oleh sebagian muslim yang lain.
Dogol benar. Para penolak jenazah terpapar virus Corona untuk dimakamkan di suatu tempat tertentu merasa bangga. Sebab, ia merasa berhasil memprovokasi warga melalui pembodohan. Mana ada mayat bangkit bersama virus Corona?
Salam berbagi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H