Sebelum menuangkan tulisan ini, berkali-kali penulis mengucap istighfar. Alasannya ada dua hal: Pertama, sungguh amat menyedihkan nasib para tukang sampah di tengah wabah Covid -19 yang kini sama-sama kita perangi. Kedua, penulis tak bermaksud merendahkan mereka namun berkeinginan membantu dalam kondisi yang sulit dewasa ini.
Selain itu, penulis tak ingin kegiatan dan upaya membantu kaum miskin itu kemudian menjadi perbuatan sia-sia karena riya, pamer.
Hmmm. Penulis pun tak tahu harus dari mana memulai menulis kisahnya. Bingung mencari sudut pandang yang patut diangkat dari kisah para tukang sampah dan rongsokan, tukang pengumpul barang bekas di tengah serangan virus Corona atau Covid-19.
Sungguh, semua ini berawal dari niat baik rekan-rekan yang tergabung dalam Ukuwah Islamiah Assalam Fakultas Hukum Universitas Trisakti Angkatan 20 (UI Assalam FH'20 Usakti) Jakarta. Seperti pada tahun-tahun sebelumnya komunitas yang dipimpin Syekh Salim itu menggalang dana. Dana yang terkumpul lantas didistribusikan kepada kaum dhuafa, warga tak mampu dengan harapan dapat mengurangi kesulitan yang dihadapi.
Pada tahun-tahun lalu, komunitas ini menjelang Ramadhan berkumpul. Sudah menjadi tradisi, ratusan anak yatim hadir untuk makan bersama disusul pemberian santunan. Namun pada tahun 2020 ini tentu hal itu tak dapat dilaksanakan. Sebab, di Jakarta tengah diberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) mulai Jumat (10/4).
Bersamaan dengan itu pula diwajibkan bagi warganya mengenakan masker. Aturan pembatasan bakal lebih ketat dan disertai penindakan bagi yang melanggar ketentuan.
Nah, daripada susah-susah, lalu melalui komunikasi "telepati" dan jaringan internet, didapati kesepatan bahwa setiap anggota UI Assalam FH'20 Usakti diminta jadi relawan untuk memberi santunan kepada kaum dhuafa dan orang miskin.
Jadi, tidak seperti sebelumnya, yang pada tahun lalu mendatangkan anak yatim ke tempat pengajian dan disusul ketua dan anggota berkunjung atau bertandang ke pondok pesantren.
Sekali ini relawan UI Assalam FH'20 Usakti diminta bisa berkunjung ke pemukiman orang tak mampu jika memang diperlukan. Namun bila memungkinkan para dhuafa mendatangi ke kediamannya masin-masing.
Nah, isteri penulis yang menjadi bagian dari komunitas tersebut kini menjadi relawan. Untuk mendistribusukan dana tersebut, ditempuh dua cara. Mengundang para penerima santunan datang ke rumah. Namun jika yang bersangkutan sudah tua, sakit-sakitan, penulis bersama isteri mendatangi ke kediamannya sambil membawa bantuan.
**
"Terima kasih ibu. Bantuannya bermanfaat sekali," ucap ce' Entin, berkali-kali dengan raut wajah sedih.
Sambil duduk di ruang tamu, lalu ia bercerita bahwa simpanan beras di kediamannya hanya cukup hari itu. Andai saja hari ini tak dapat bantuan sembilan bahan pokok alias sembako, salah satunya beras 5 kg, bisa jadi selama sepekan ia bersama anggota keluarga tak makan.
"Loh, kenapa ce' Entin?" tanya isteri penulis.
Betul-betul sekarang sedang sulit cari uang. Jualan sayuran tak laku, tidak seperti sebelum Corona banyak dibicarakan orang. Â Sekarang, modal jualan saja makin tipis. Kalau esok masih berjualan, ya tak makan. Sebab, uangnya untuk beli beras dan lauknya.
"Mau apa lagi. Keadaannya memang sulit," katanya sambil berharap hari-hari berikutnya masih ada orang punya perhatian pada dirinya.
Soal dagangan tak laku, juga disampaikan Mang Udin. Pria asal Cianjur ini saat dagangan tak laku mengandalkan kemampuan fisiknya menjadi tukang urut. Tapi untuk sekarang ini, dagangan tak kunjung laku ditambah lagi panggilan untuk urut layanan dari rumah ke rumah tak ada lagi.
Semua sepi. Ya, mau apa lagi dan terpaksa harus berdiam diri di rumah sesuai anjuran pemerintah. Mau pulang kampung juga menganggur di sana. Di kampung tak ada kerjaan lagi.
"Bantuan dari ibu ini sangat membantu," katanya sambil berharap dapat diberi kerjaan agar ke depan dapurnya dapat terjamin 'ngebul'.
Cerita yang sama juga penulis dapati dari orang tua dan sakit-sakitan. Tak perlu disebut namanya. Ia mendiami rumah di gang sempit tak jauh dari terminal Kampung Rambutan.
Di situ ia bermukim bersama beberapa anaknya. Isterinya wafat setahun silam dan kini hidup bergantung belas kasihan dari seorang anaknya yang bekerja di luar kota. Ia bersyukur anaknya masih mengirim uang di tengah banyaknya orang terkena pemutusan hubungan kerja.
Ketika penulis jumpai di kediamannya, ia sangat terkejut. Kata-kata yang keluar dari mulutnya terdengar serak-serak basah bercampur haru. Mengalir air matanya. Ia terharu dan merasa terhormat didatangi penulis.
Dulu, kala masih sehat, orang tua yang sakit-sakitan ini memang rajin ke masjid. Kadang saat Subuh tiba, ia lebih awal datang dan melantunkan adzan.
Berbeda dengan cerita yang diutarakan Kartini, isteri pemulung. Ia datang ke kediaman penulis diantar tetangganya yang berprofesi sebagai tukang pengambil sampah di lingkungan pemukiman.
Bantuan yang diberikan isteri penulisi sangat membantu. Bu Kartini bercerita bahwa minggu depan akan menjalani operasi lanjutan, operasi batu ginjal.
Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, ibu beranak tiga ini sangat mengandalkan belas kasihan para warga setempat. Apa lagi dengan kondisi sekarang. Pemutusan hubungan kerja alias PHK banyak terjadi di berbagai perusahaan.
"Ya, gitulah bu," sambil menyambut gembira bingkisan yang disampaikan.
**
Mulai tukang sampah, pemulung, petugas kebersihan yang bekerja di kelurahan hingga orang lanjut usia menyambut gembira adanya bantuan berupa sembako.
Seiring pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), Â sayogianya warga kurang mampu mendapat prioritas untuk mendapat bantuan.
Di tengah badai ancaman virus Corona, warga miskin juga cemas akan hari-hari depannya yang terancam tak bisa makan. Tak bisa memenuhi kebutuhan dasarnya lantaran kehilangan pekerjaan dan berbagai hal lainnya.
Masih banyak warga miskin dan tinggal di bedeng-bedeng menanti uluran tangan. Anak-anak mereka terancam kurang gizi.
Dukungan UI Assalam FH'20 Usakti Jakarta kepada kaum dhuafa hanya setitik debu. Karena itu berbagai pihak diharapkan juga berbuat hal yang sama. Keberpihakan kepada kaum miskin dalam sutuasi begini sangat dinanti.
Kalau bukan kita yang peduli terhadap mereka itu, lalu siapa lagi?
Salam berbagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H