Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sebelum Bayar BPIH, Jangan Pahami Istithaah dari "Kacamata Kuda"

20 Februari 2020   11:05 Diperbarui: 20 Februari 2020   12:59 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kekeliruan kerap terjadi dalam menunaikan ibadah haji. Dari tahun ke tahun berulang dengan kasus serupa disebabkan masih berkembangnya pemahaman Istithaan dalam menunaikan ibadah haji dari sudut "kaca mata kuda".

Istithaah dimaknai sebagai menunaikan ibadah haji jika mampu. Cukup uang dan sehat. Sampai di situ. Titik. Coba perhatikan kala kita masih kecil sering kali disebut oleh sang pengajar di muka kelas, bahwa rukun Islam ada lima.

Selain dari yang pertama mengucap dua kalimat syahadat, mengerjakan shalat lima waktu, mengeluarkan zakat, puasa di bulan Ramadhan hingga yang kelima melaksanakan ibadah haji bagi mereka yang mampu.

Ya, jika mampu karena punya fulus alias duit hingga kesehatan. Sejatinya, tidak demikian.

Secara umum istithaah adalah kemampuan jamaah haji secara jasmaniah, ruhaniah, pembekalan dan keamanan untuk menunaikan ibadah haji tanpa menelantarkan kewajiban terhadap keluarga.

Itu saja belumlah cukup. Mengapa?

Kita harus melihat bahwa penyelenggaraan ibadah haji harus dipandang secara menyeluruh. Komprehensif lantaran melibatkan antarintansi. Di situ ada imigrasi, terkait aturan dekumen, kementerian kesehatan yang mengurusi kesehatan jemaah, Kementerian Luar Negeri, hingga Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama selaku ujung tombak dalam penyelenggaraan ibadah haji.

Dulu kita sering mendengar kisah pemalsuan dokumen jemaah haji dengan cara menukar foto paspor dan buku kesehatan orang lain yang dilakukan oleh penyelenggara ibadah haji khusus pernah terungkap pihak imigrasi. Kasus itu sangat menyakitkan karena anggota jamaah bersangkutan tidak dapat berangkat haji.

Dulu, juga didapati ada anggota jamaah hamil mengelabui petugas kesehatan haji dengan cara menukar urine, tatkala dilakukan pemeriksaan di embarksi keberangkatan.

Beranjak dari itu, maka pemahaman istithaah tak dapat lagi dilihat dengan "kaca mata kuda", dari satu sisi saja. Istithaan meliputi aspek (1) ilmu, manasik haji, (2) materi, menyangkut ongkos biaya hidup selama di Tanah Suci hingga yang ditinggalkan, (3) kesehatan jasmani dan rohani, (4) kendaraan, menyangkut penerbangan, (5) jaminan keamanan selama perjalanan dan (6) jaminan keamanan di tempat tujuan.

Dari keenam aspek tersebut, penulis ingin menyoroti dari sisi kesehatan. Mengapa? Ya, lantaran masih banyak jemaah mengelabui petugas kesehatan agar dapat dinyatakan sehat.

Kita tahu Kementerian Kesehatan mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 15 Tahun 2016 tentang Istithaah Kesehatan Jemaah Haji. Permenkes tersebut keluar pada 23 Maret 2016 yang ditandatangani Menteri Kesehatan Nila Farid Moeloek, dan diundangkan di Jakarta pada 11 April 2016.

Jauh sebelum aturan itu keluar, pelanggaran Istithaah (dari sisi kesehatan) banyak dilanggar. Seperti, misalnya, pasien cuci darah yang harus mendapat layanan kesehatan istimewa selama di Tanah Suci. Konsekuensinya, menyebabkan pasien lain tak terurus. Apa lagi tenaga kesehatan kurang.

Inti dari aturan itu adalah jamaah haji yang ditetapkan memenuhi syarat istithaah kesehatan haji merupakan jamaah haji yang memiliki kemampuan mengikuti proses ibadah haji tanpa bantuan obat, alat dan/atau orang lain dengan tingkat kebugaran jasmani setidaknya dengan kategori cukup.

Permenkes tersebut merupakan upaya pemerintah menekan tingginya angka kematian jemaah haji lantaran gangguan kesehatan sebelum berangkat. Selain itu, aturan diarahkan untuk meningkatkan pelayanan sehingga jamaah dapat melaksanakan ritual haji sesuai dengan tuntunan rukun haji. Harapannya, kembali ke Tanah Air menjadi haji mabrur.

Jadi, patutlah disambut gembira bahwa Permenkes itu dapat dimaknai sebagai paradigma baru dalam penyelenggaraan haji. Dengan demikian, secara umum istithaah adalah kemampuan jamaah haji secara jasmaniah, ruhaniah, pembekalan dan keamanan untuk menunaikan ibadah haji tanpa menelantarkan kewajiban terhadap keluarga.

Dengan begitu, istithaah kesehatan jemaah haji dapat dipandang sebagai kemampuan jamaah haji dari aspek kesehatan yang meliputi fisik dan mental yang terukur dengan pemeriksaan yang dapat dipertanggungjawabkan sehingga jamaah haji dapat menjalankan ibadahnya sesuai tuntunan Agama Islam.

Sekedar catatan, melalui laman ini penulis pernah mengungkap Jemaah haji yang ditetapkan tidak memenuhi syarat istithaah kesehatan haji untuk sementara, merupakan jemaah haji dengan kriteria tidak memiliki sertifikat vaksinasi internasional (ICV) yang sah, menderita penyakit tertentu yang berpeluang sembuh, antara lain tuberkulosis (TB) sputum BTA positif, TB multi-drug resistance, DM tidak terkontrol, hiper tiroid, HIV-AIDS dengan diare kronik, stroke akut, pendarahan saluran cerna dan anemia gravis.

Selain itu, suspek (suspect) dan/atau ada penegasan terjangkit penyakit menular yang potensial wabah, psikosis akut, fraktur tungkai yang membutuhkan immobilisasi, fraktur tulang belakang tanpa komplikasi neurologis, hamil yang diprediksi hamilnya pada saat berangkat kurang dari 14 minggu atau lebih dari 26 minggu.

Jamaah haji yang ditetapkan tidak memenuhi syarat istithaah kesehatan haji, merupakan jemaah haji dengan kriteria kondisi klinis yang dapat mengancam jiwa, antara lain penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) derajat IV, gagal jantung stadium IV, kegagalan fungsi ginjal kronis (cronic kidney disease) stadium IV dengan paritoneal dialysis/hemodialisis reguler, AIDS stadium IV dengan infeksi oportunistik, stroke haemorhagic luas.

Kemudian, gangguan jiwa berat, antara lain skizofrenia berat, dimensia berat dan retardasi mental berat dengan penyakit yang sulit diharap kan kesembuhan nya, antara lain keganasan stadium akhir, tuberculosis totaly drug resistance (TDR), sirosis atau hepatoma decom pensate.

Nah, kalau demikian pemahamannya jadi keren, kan?

**

Mumpung belum memutuskan untuk membayar Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) 2020,  -- dikabarkan tidak mengalami kenaikan, yaitu sama dengan tahun lalu yakni sebesar Rp 35.235.602, -- maka memahami istithaah haji secara komprehensif menjadi sesuatu yang wajib.  

Mengapa ditekankan bahwa untuk ibadah haji harus memahami ilmunya. Semata dimaksudkan agar kembali ke Tanah Air meraih haji mabrur. Jangan sepelekan ilmu manasik haji. Sebab, bisa jadi hal yang wajib lalu jadi haram tak diketahui

Begini. Kita tahu haji adalah ibadah dengan mengunjungi Baitullah (Ka'bah). Waktu pelaksanaannya dari bulan Syawal, Zulqaidah dan sampai puncaknya bulan Zulhijjah. Umat muslim diwajibkan sekali seumur hidup melaksanakan ibadah haji.

Saatnya Berhaji dengan memperhatikan faktor lain yang berhubungan dengan penyelenggaraan ibadah haji seperti keamanan selama perjalanan hingga di tempat tujuan. Jika di perjalanan tengah berkecamuk perang, ya kita harus menghindar. Jika di Tanah Suci kondisinya tak kondusif seperti tengah berkecamuk perang hingga wabah penyakit, ya patut dihindari.

Bagi yang menunaikan ibadah haji harus tahu ilmunya, seperti apa hukumnya kala mengenakan pakaian ihram, thawaf, sa'i dan wukuf di Arafah pada puncak ibadah haji. Mana hukum wajib haji dan apa saja yang menjadi rukun haji.

Penulis tak mengulas panjang lebar tentang ini. Tetapi sedikit mengungkap kelucuan ketika seorang pejabat mengenakan ihram. Lantaran ia pejabat dan penggede, tak pernah mau tahu tentang manasik haji. Pokoknya, apa yang dilakukan orang lain ia mengikuti saja. Bacaannya pun sekenanya, apa yang bisa dipahami.

Suatu saat ia mengenakan ihram. Kita tahu bahwa ihram adalah salah satu rukun haji selain: wukuf di Arafah, Thawaf Ifada, Sa'i, semua dijalankan dengan tertib hingga tahalul.

Lalu, si penggede mengenakan ihram layaknya seorang santri di pondok pesantren tengah mengenakan kain sarung. Karena ketidaktahuannya, petugas PPIH (Panitia Penyelenggara Ibadah Haji) melakukan razia, siapa saja yang tak sempurna mengenakan ihram.

Caranya, dengan meraba pantat setiap lelaki yang mengenakan ihram. Nah, dari hasil razia itu didapati sang pejabat itu tak sempurna mengenakan ihram selain juga mengenakan celana dalam. Ia tak mengindahan larangan dalam ihram.

Kita tahu, ketika seseorang berihram, dilarang mengenakan pakaian berjahit dan larangan lain seperti memetik daun, membunuh binatang seperti nyamuk sekalipun. Ketika seseorang mengenakan ihram, ya tentu dilarang bercinta layaknya suami isteri seperti mencium perempuan sekalipun isteri sendiri.

Yang terlihat, si pejabat masih membawa kebiasaan dari Tanah Air. Nampak sekali dari kejauhan ia mencium isteri sendiri. Wuih, kita jadi ketawa bareng.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun