Dari sisi toleransi, warga Singkawang memang selalu bersyukur dan bangga. Mengapa demikian?
Ini terjadi lantaran warganya punya semangat yang sama, apakah dia etnis Cina, Dayak dan Melayu -- kemudian dikenal dengan sebutan Cidayu -- ikut menyukseskan perayaan Imlek dan Cap Go Meh yang sekarang memasuki tahun 2571 Kongzili.
Pada Jumat ini, suasana di kota itu demikian cantik. Sebelumnya pada Kamis siang warganya sudah tumpah bersama para wisata untuk menyaksikan perhelatan liong di kelenteng yang berdekatan dengan masjid.
Singkawang dengan luas luas wilayah 504 km persegi, dari sisi historis pada awalnya memang merupakan sebuah desa bagian dari wilayah kesultanan Sambas. Singkawang, yang dulu sebagai sebuah desa, kemudian menjadi tempat singgah para pedagang dan penambang emas dari Monterado.
Kita pun tahu bahwa penambang dan pedagang kebanyakan berasal dari negeri Tiongkok, sebelum mereka menuju Monterado terlebih dahulu beristirahat di Singkawang, sedangkan para penambang emas di Monterado yang sudah lama sering beristirahat di Singkawang untuk melepas kepenatannya.
Jadi, Singkawang juga sebagai tempat transit pengangkutan hasil tambang emas (serbuk emas).
Waktu itu, mereka (orang Tionghoa) menyebut Singkawang dengan kata San Keuw Jong (Bahasa Hakka), mereka berasumsi dari sisi geografis bahwa Singkawang yang berbatasan langsung dengan laut Natuna serta terdapat pengunungan dan sungai, dimana airnya mengalir dari pegunungan melalui sungai sampai ke muara laut.
Saat ini Singkawang dengan warganya yang multi etnis itu berkembang pesat. Para penambang sudah beralih menjadi petani, pedagang dan menetap di kota itu.
Pada Kamis kemarin warga tumpah ke beberapa ruas Jalan Sudirman -- Pahlawan. Mereka bergerak ke arah Wihara Tri Dharma Bumi Raya yang berdekatan dengan Masjid Raya Singkawang.
Tentu, perhelatan tersebut tak sebanding pada perayaan Cap Go Meh dua pekan mendatang.
Namun setidaknya kegiatan tersebut telah menyedot para wisatawan dari berbagai daerah. Nampak di pelosok kota, kawasan pertokoan, dihiasi lampion merah di sepanjang jalan. Keren, kan?

Penduduk kota Singkawang, yang awalnya bagian dan ibukota dari wilayah Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) 2011, tercatat 246.306 jiwa dan 42 persen diantaranya Tionghoa. Sisanya Jawa, Dayak, Melayu dan suku lainnya.
Orang Tionghoa sudah ada di kota ini sudah sejak ratusan tahun lalu ketika pertambangan Moterado dibuka. Orang luar bisa jadi melihat Singkawang sebagai Pecinan atau Chinatown.
Uniknya, di kota ini ada beberapa tempat wisata menarik, antara lain pantai pasir panjang, Sinka Island Park, Sinka Zoo, Bukit Bougenville, Taman Chidayu, Teratai Indah, Pasar Hongkong, Vihara Tri Dharma Bumi Raya, Danau Biru. Sedangkan budayanya yang paling menonjol adalah Cap Go Meh, Gawai Dayak Naik Dango.
Singkawang dijuluki sebagai kota seribu kelenteng. Vihara atau kelenteng ada di mana-mana, begitu pula tempat sembahyang yang lebih kecil, cetiya, ada di mana-mana. Hingga 2020, diperkirakan 720 bangunan vihara dan cetiya bertebaran di kota itu.
Sementara itu rumah ibadah bagi umat Muslim di Singkawang, ada dua masjid besar yang sering digunakan umat Islam. Masjid Agung Nurul Islam dan Masjid Raya Singkawang. Delapan masjid besar lainnya teresebar di beberapa tempat.
Bagi umat Islam dan penganut agama lainnya, keunikan yang dimiliki warga Singkawang itu merupakan daya pikat wisatawan mancanegara. Terlebih saat Imlek dan Cap Go Meh.
Selamat Imlek 2571 Kongzili.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI