Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Gelar Ustaz Tidak Semudah Itu

14 Januari 2020   09:58 Diperbarui: 14 Januari 2020   10:13 609
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ustaz atau sering dieja Ustad dan Ustadz, termasuk tokoh agama yang berpredikat kiyai dan habib, kadang membuat kita terkecoh dalam memahami pesan yang disampaikan. Utamanya jika pesan ibadah yang berkaitan dengan dukungan finansial alias fulus.

Ulama, ustaz, kiyai hingga habib adalah tokoh panutan bagi umat Muslim. Kata dan perbuatannya diikuti lantaran bila dilaksanakan membuahkan pahala. Karenanya, mereka itu dalam perspekatif akademi termasuk pimpinan informal.

Memahami ketokohan ulama, ustaz, kiyai hingga habib akan memudahkan pihak atau kelompok yang memiliki kepentingan. Misalnya saja, kala berlangsung pemilihan kepala daerah, tak sedikit elite politik mendekati tokoh agama yang pandai ceramah di atas pentas guna mendulang perolehan suara.

Soal yang beginian, kita pun sering menyaksikan elite politik bergantian mendatangi kiyai ketika punya kepentingan memperoleh dukungan.

Dalam kesempatan lain, pebisnis memanfaatkan tokoh agama untuk mendulang keuntungan. Nah, untuk yang ini, sudah banyak kita saksikan tokoh agama dimainkan untuk menjual ayat suci guna meraih keuntungan. Tegasnya, lantaran kepiawaiannya, sang ulama mengajak umat untuk membeli produk syariah. Tawarannya dikemas dengan ayat agama.

Wuih, kalau sudah mendengarnya terasa sejuk. Seolah kita bila tak membelinya atau tidak ikut investasi yang ditawarkannya akan berdosa. Masuk neraka. Dibayangan kita, surga seolah miliknya.

Manisnya mengolah kata dibungkus dengan kalimat universal dari ayat suci mendorong umat patuh kepada tokoh informal tadi. Sebut saja, misalnya, ibadah umrah, membeli lahan investasi syariah "bodong".

Mempengaruhi akal pikiran umat dengan ketokohan agama jauh lebih efektif. Pebisnis tak akan memilih seorang 'jago' pemasaran (marketing) dibanding memanfaatkan seorang tokoh agama.  Bagusnya, sih, yang dipilih adalah yang bersangkutan jago marketing didukung ketokohannya dalam bidang agama.

Mengapa?

Karena ia piawai memainkan kata, fasih membaca ayat dan menguasai debat dengan publik. Apa lagi punya pengaruh dan sering tampil di layar kaca.

Sungguh, kita menyangkan kini tak sedikit ustaz terjebak bahwa dirinya telah dimanfaatkan pihak lain. Itu terjadi lantaran yang besangkutan tidak sadar matanya telah gelap ditutup 'fulus'. Di kalangan santri ada ayat terkenal, yang bunyinya begini: Man Katsirul Fulus Fahuwa Lulus, Waman Khalilul Fulus Manfus..?

Siapa yang banyak Fulus (uang) akan mudah lulus, siapa yang sedikit fulus akan manfus (mampus). Meski kalimat itu tak seluruhnya benar, tetapi ada yang meyakini bahwa tak ada uang antum bakal mampus.

Orang Arab pun, ketika jemaah haji hadir di Mekkah, sering menyebut, tak punya fulus antum mamfus.

Dalam dunia politik hal serupa juga terjadi. Seorang kiyai kondang sekalipun dapat termakan dengan ucapan manisnya sendiri lantaran membabi buta membela seseorang yang dulunya didukung sebelum menjadi pejabat. Ketika jadi pejabat, lalu yang bersangkutan berbuat salah, tetap didukung oleh tokoh ulama itu. Ujungnya, warganet pun ramai mengungkap rasa kecewanya melalui media sosial.  

Semua itu membawa dampak. Kepercayaan kepada tokoh agama kini terasa mengalami degradasi. Kalau sudah begitu, umat rugi besarrrrr.

**

Sebenarnya untuk mengukur kepiawaian seorang utaz, mengukur keikhlasan seorang tokoh agama tidak bisa dilihat secara fisik. Kita bakal terkecoh dengan retorikanya jika hanya selalu mengandalkan visualnya melalui layar kaca.

Baiknya kata dan perbuatannya menjadi fokus perhatian. Apakah kata dan perbuatannya sudah sejalan? Setelah itu dapat diukur dari keikhlasannya dalam berdarma, memberi perhatian kepada anak yatim hingga memperhatikan orang yang tertimpa kemalangan, seperti korban banjir dan lainnya. Tegasnya, apakah ia sudah memperlihatkan kesalehan sosialnya?

Sering terjadi di masjid, seorang ustaz yang ikut berjamaah bersikap tidak mau tahu ketika kotak amal bergulir melewati dirinya. Jangankan mengisi dengan uang, kadang ketika masuk masjid pura-pura tak melihatnya.

Ilmu berceramah mudah dipelajari. Sesulit apa pun, jika ditekuni akan membuahkan kepandaian. Tetapi soal keikhlasan tak semua dapat hadir pada diri seseorang. Coba perhatikan, seorang ustaz kondang sekarang ini punya sekretaris untuk mengatur kegiatan dakwahnya. Sayang, jika yang diatur itu hanya dakwahnya saja, tetapi tarifnya pun ditetapkan dengan harga "wah".

Sang sekretaris tak akan mengabulkan permintaan pengundang jika fulusnya tipis. Apalagi nihil alias tak dibayar. Tentu saja ini berdampak bagai seorang imam masjid yang meminta bayaran dari makmumnya. Makanya, tak salah sekarang ini mencuat ke permukaan sebutan ada ustaz jual ayat.

Lebih memprihatinkan lagi kala para ustaz tengah berkumpul di sebuah rumah kerabat penulis yang tengah tertimpa musibah. Orang tuanya wafat pada malam hari dan hingga jelang zuhur tak juga dimandikan jenazahnya.

Kita bangga para ustaz datang menyampaikan rasa simpatinya kepada anggota keluarga bersangkutan. Orang datang untuk takziah mendapat pahala. Berbeda dengan pesta resepsi pernikahan, kita datang karena diundang. Jika tak diundang lalu datang, ya hukumnya ada yang menyebut sebagai haram. Sedang orang takziah itu tak perlu diundang.

Nah, lantaran jenazah harus disegerakan dimakamkan, tentu para ustaz yang jumlahnya lebih dari lima orang sudah memahami bahwa jenazah tak boleh terlalu lama  didiamkan. Perlu segera dimandikan sesuai tuntunan agama.

Ketika seorang anggota keluarga menanyakan di antara para ustaz tadi untuk memandikan jenazah, mereka tak menjawab segera. Satu sama lain celingukan. Padahal hukum dan rukun memandikan jenazah mereka sudah paham, tetapi tak satu pun segera bertindak.

Kita tahu bahwa mengurus jenazah, mulai memandikan hingga menyolatkan, adalah fardu kifayah. Wajib dilakukan. Bila sudah dilakukan oleh muslim yang lain maka kewajiban ini gugur.  Tapi jika tak dilaksanakan, orang sekampung ikut menanggung dosanya.

Alasan yang didapat penulis, ada di antaranya mereka merasa takut, merasa jijik, tidak menguasai ilmu memandikan jenazah meski mereka berpredikat ustaz. 

Bahkan bukan hanya takut dengan mayat, tetapi punya alasaan tak rasional, yaitu karena anggota keluarga bersangkutan miskin. Mereka memastikan keluarganya tak mampu membayar para ustaz untuk memandikan jenazahnya.

Ujungnya, jenazah terlantar hingga seusai zuhur baru dimandikan. Hmmm, masih ada ustaz pengecut?

Salam berbagi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun