Seusai memenuhi permintaan Pak Utaz untuk membaca surat-surat pendek mulai dari Al-A'La, Al-Gasyiyah , Asy-Syams hingga An-Nas, pada kajian Alquran di sebuah masjid pinggiran Jakarta, Kamis pagi (26/12), penulis mendapat penjelasan mengagetkan darinya terkait menteri-menteri mendatangi Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Pandjaitan untuk mengucapkan selamat Natal.
Sementara Wapres Prof. Dr. K.H. Ma'ruf Amin juga menyampaikan ucapan selamat Natal dan berharap perayaan Natal 2019 berjalan dengan damai dan nyaman. Ma'ruf juga meminta permasalahan pelarangan ibadah Natal di Sumatera Barat segera diselesaikan.
Sesungguhnya penulis tak ingin mendengar prihal ucapan selamat Natal yang belakangan ini ramai dibicarakan di ranah publik. Ini masalah klasik. Dari tahun ke tahun selalu berulang. Seharusnya sudah selesai dan kita tak disibukan dengan hal itu lagi. Sebab, penulis takut masalah ini "digoreng" oleh kalangan pembenci negeri damai. Masalah ini jika tak disikapi dengan bijaksana berpotensi merusak kerukunan yang sudah ada di tanah air.
Lagi pula umat Kristiani sejak dulu tak pernah mengemis agar umat dari agama-agama di Indonesia untuk menyampaikan uapan selamat Natal.
Nah, Pak Ustaz yang tak perlu penulis sebut jatidirinya itu menjelaskan surat-surat pendek. Salah satunya Surah Al-'Alaq. Kita tahu bahwa dalam berbagai literatur surah ke- 96 dalam Alquran ini terdiri atas 19 ayat dan termasuk golongan surah-surah Makkiyah. Ayat 1 sampai dengan 5 dari surah ini adalah ayat-ayat Alquran yang pertama kali diturunkan, yaitu di waktu Nabi Muhammad bertafakur di gua Hira.
Ada kisah menarik ketika Alquran pertama kali diturunkan melalui malaikat. Sebagian umat Muslim tentu ingat bahwa Alquran diturunkan secara bertahap kepada Nabi Muhammad Saw melalui perantaraan Malaikat Jibril selama 22 tahun 2 bulan 22 hari. Apa yang menariknya?
Yaitu, ketika Nabi Muhammad Saw diperintahkan untuk mengucapkan Iqra' bismirobbikalladzii kholaq yang artinya Bacalah, dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan.
**
Laman tirto pernah mengupas malah surat ini melalui kajian Kultum Quraish Shihab. Iqra pada mulanya berarti "menghimpun". Jika ada kata misalnya "membaca" maka sebelum Anda mengucapkannya dengan lidah atau di dalam benak, Anda sebenarnya melihat ketujuh huruf itu satu persatu terlebih dahulu (M-E-M-B-A-C-A). Setelah itu memperurutkannya lalu menghimpunnya dan seketika itu, setelah terjadi aneka proses yang sangat cepat, lahirlah bacaan yang berbunyi "membaca".
Pada saat itu, mata dan otak kita cepat bekerja sehingga lahirlah bacaan. Jika kita makin terbiasa membaca, maka akan semakin terlatih. Melalui membaca maka proses tersebut akan semakin mahir. Disebut, kata iqra sangat menakjubkan. Lihat, dalam aksara Arab terdiri dari huruf-huruf qaf, ra dan hamzah. Ketiga huruf tersebut, betapapun Anda mengotak-ngatik susunannya, dia tetap mempunyai makna.
Jika kita mendahulukan huruf hamzah disusul dengan qaf dan ra, maka dapat dibaca kata aqarra yang antara lain bermakna "mengakui" atau "mantap dan tenang". Anda juga dapat mendahulukan hamzah lalu meletakkan huruf ra di tengahnya dan huruf qaf di akhirnya, sehingga terbaca ariqa, yakni "gelisah" atau "sulit tidur".
Jadi, kesemua itu memberi isyarat bahwa kalau kita tidak membaca, maka Anda akan gelisah dan bila gelisah maka Anda tak dapat tidur. Da, ketika itulah Anda tidak akan merasakan ketenangan. Sebaliknya kalau membaca, maka Anda akan tenang, memperoleh pengetahuan dan kehidupan.
Sejatinya, kata Pak Ustaz dalam pengajian Kamis pagi itu, kata Iqra tak sebatas apa yang tertulis. Kata pada wahyu pertama dalam Alquran itu diarahkan untuk membaca apa saja yang terhampar di permukaan bumi, yang buruk dan yang baik, sebagai motivasi bagi manusia. Karena itu Alquran diturunkan untuk manusia yang berakal. Alquran diturunkan untuk manusia yang multi etnis dan berbagai bangsa.
Perintah membaca dalam artian luas termasuk  untuk menemukan siapa sebenarnya Tuhan; tersurat dalam Surat Al Alaq bahwa manusia dijadikan dari segumpal darah, lalu Allah menjadikan kalam sebagai alat mengembangkan pengetahuan.
Di sini terkandung makna bahwa Allah, Tuhan Yang Maha Esa, menciptakan manusia dari benda yang hina kemudian memuliakannya dengan mengajar membaca, menulis dan memberinya pengetahuan. Sayangnya, Â manusia tidak ingat akan kebesaran-Nya.
**
Kata Iqra sesungguhnya memiliki makna luas. Bukan hanya secara fisik dalam bentuk teks-teks yang kita baca setiap hari dalam Alquran. Di luar itu banyak ayat tak tertulis. Ayat ini mengingatkan manusia untuk pandai membaca apa yang terhampar di permukaan bumi, juga beragam segala peristiwa yang terus terjadi. Peristiwa di masa lampau dan dewasa ini.
Nah, beranjak dari pemahaman ini, Pak Ustaz lantas mengingatkan penulis tentang ayat Qauliyah dan ayat Kauniyah.
"Jangan bingung mendengar Qauliyah dan Kauniyah?" pintanya.
Ayat Qauniyah adalah ayat-ayat berupa firman Allah SAW yang banyak dijumpai dalam Alquran. Sedangkan ayat Kauniyah adalah ayat-ayat dari Allah SWT yang dapat dijumpai di alam sekitar berupa kejadian, persoalan dan dinamika hidup manusia lainnya. Â
Jangan pertentangan kedua ayat ini. Sebab, sekali lagi, tidak pernah dijumpai ayat Qauliyah dan Kauniyah bertentangan. Kedua ayat ini satu sama lain saling melengkapi.
Nah, karena itu, bagi seorang mukmin mencari kebesaran Allah melalui ayat-ayat-Nya tidak melulu melalui Alquran tetapi juga mencari ilmu dan kebesaran Allah melalui alam semesta. Â
Pertanyaannya, bagaimana kaitan ayat Iqra tadi dengan pernyataan Wapres KH Ma'ruf Amin saat Natal?
Jika melihat penjelasan ayat tadi, Wapres sebagai seorang kiyai tentu sudah melihat kepentingan yang lebih luas. Ia berada pada posisi yang bijaksana. Sebab, ia mampu menerjemahkan kata iqra dalam kontek ayat Kauniyah, mengedepankan manfaat untuk kepentingan bangsa. Â Â Â
Jika kita terus menerus mengangkat ayat Alquran yang lain sebagai alat untuk memusuhi penganut agama-agama lain, sungguh sangat bertentangan dalam ajaran Islam. Menurt Pak Ustaz, bukankah dalam sejarah ketika Nabi Muhammad Saw hijrah ke Madinah mendapat dukungan dari berbagai berbagai kelompok berbeda-beda. Kelompok itu ada yang beragama Nasrani, Yahudi dan agama lainnya.
Ia pun mengatkan bahwa warga Madinah saat itu tak semua beragama Islam. Ada yang beragama lain dan mereka senang dan bersedia menampung umat Muslim di kediamannya masing-masing. Kemudian, pada tahun-tahun berikutnya Nabi Muhammad Saw juga mewujudkan perdamaian bagi seluruh warga kota dengan mendorong lahirnya Perjanjian Madinah.
Pada perjanjian ini sangat ditekankan hak dan kewajiban bagi seluruh warga berikut sanksi bila dilanggar secara adil.
Lalu, mengapa harus saling ngotot untuk mendapatkan kebenaran sendiri?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H