Begini. Para orang tua mulai jaman dulu hingga kini, tepatnya mulai zaman jadul hingga zaman milenial, atau pun zaman now, selalu membanggakan dan menganjurkan akan pelastarian tradisi dan menghormati para leluhurnya.
Tanpa sadar, dinamika masyarakat demikian cepat. Zaman pun berubah. Masyarakat yang dulu ketika mengubungi anggota familinya harus menggunakan telepon (umum), untuk sekarang ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan telepon genggam. Dengan media sosial, generasi kini mendapat kemudahan.
Demikian halnya dalam budaya terjadi perubahan. Budaya pemanfaatan kertas (di kantoran) berkurang dan digantikan dengan layar gawai. Keren, kan?
Namun di sebagian orang tua masih ada yang tak sadar. Kata anak zaman now, orang tua  zaman jadul itu kini terkaget-kaget, gagap teknologi hingga dirinya tanpa sadar telah berbenturan dengan perubahan zaman, termasuk sebagai dampak akulturasi.
Pengaruh percampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan saling mempengaruhin ikut membawa pengaruh bagi pergaulan anak muda di lingkungan perkotaan. Di kalangan orang kampus, peristiwa itu dinamai akulturasi.
Nah, saking kuatnya orang tua jadul dengan tradisinya, dalam berbagai kesempatan sering sekali menyebut bahwa zaman boleh berubah tetapi menjaga kebiasaan tradisi adalah wajib dilakukan.
Sampai di sini, banyak orang sepakat menjaga dan melestarikan tradisi itu. Tapi, realitasnya, upaya mempertahankan tradisi yang dimaksud oleh para orang tua jadul tadi, ya seperti jalan di tempat. Nihil, kesannya.
Tapi, meski begitu, kita masih patut bersyukur. Sebab, masih banyak anak muda mampu mempertahankan tradisi itu tanpa menghilangkan spirit yang terkandung di dalamnya.
Kita sering mendengar ungkapan bahwa zaman sudah menggerus berbagai kebiasaan tradisi masyarakat. Seni dan kebudayaan tradisonal diabaikan. Meski begitu, disadari bahwa upaya melestarikan itu perlu dilakukan.
Caranya, ya tentu disesuaikan dengan kekinian.Tanpa harus memberengus tradisi yang sudah mengakar. Semua disesuaikan di tengah gempuran zaman milenial. Misalnya, ketika dilakukan upacara pernikahan, pernik-pernik yang mengakut ritual keagamaan, ijab kabul yang dipimpin penghulu, tetap diindahkan. Termasuk dalam ajaran agama (Islam) seperti pentingnya pembukaan acara didahului dengan membaca Alquran.