Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Balada BP4, Lembaga Urusan Nasihat Kawin hingga Cerai yang "Mati Suri"

21 November 2019   09:36 Diperbarui: 21 November 2019   15:47 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kantor BP4 di bungker Masjid Istiqlal, Jakarta. Foto | Dokpri

 

Jika saja BP4 itu adalah sebuah nama bagi bocah kecil, maka penulislah yang pertama kali berupaya mendiamkanya dengan cara membujuk. Bila BP4 itu adalah seorang gadis remaja menangis lantaran tengah menanti sang pacar, maka penulislah yang akan tampil memperjuangkan untuk mendatangkan pria idamannya dengan ikhlas.

Juga bila BP4 itu seorang duafa menangis lantaran tak makan beberapa hari, maka penulis akan membantunya agar segera perutnya kenyang.

Sayang, BP4 adalah sebuah lembaga yang belakangan dikenal sebagai Badan Penasehatan Perkawinan, Perselisihan dan Perceraian (BP4).

Badan ini pada awal negeri ini berdiri demikian penting. Sekarang, lembaga itu bagai habis manis sepah dibuang. Dimanfaatkan apabila ada perlu saja, setelah itu ditinggalkan. Boleh jadi "mati suri".

Maka, jadilah lembaga yang berkantor di bunker Masjid Istiqlal Jakarta itu bagai sebuah menumen. Karyawan dan para tenaga pembimbing atau tenaga konsultan perkawinan tak lagi digaji negara. Maka, meranalah nasib lembaga itu. Karyawannya pun tak diperhatikan. Tak bergaji lagi. Sedih, kan?

Sekedar catatan bahwa BP4 adalah satu-satunya badan yang bergerak dalam bidang penasehatan perkawinan, talak dan rujuk dan upaya untuk mengurangi angka perceraian yang terjadi di Indonesia. Kedudukan BP4 itu tegas setelah keluarnya keputusan Menteri Agama RI Nomor 85 tahun 1961.

Keputusan tersebut kemudian diperkuat dengan Keputusan Menteri Agama (KMA) No. 30 tahun 1977 tentang penegasan pengakuan BP4 pusat.

Harus ada penyadaran bahwa membangun keluarga sakinah bukan pekerjaan mudah. Selain pasangan suami istri itu harus banyak mengedepankan sikap sabar, juga dalam setiap kesempatan harus mengetengahkan sikap pemaaf. Ini artinya perjalanannya membentuk keluarga sakinah banyak cobaan.

Di sinilah kehadiran pentingnya BP4. Lembaga ini diharapkan mampu memberi membimbing, membina dan mengayomi keluarga muslimin sehingga angka perceraian di seluruh Indonesia secara bertahap dapat ditekan.

**

Ketika BP4 tak lagi diberdayakan, penulis rasanya ingin melakukan unjuk rasa di Kementerian Agama. Tapi, ya seorang diri. Nggak ada artinya, kan?

Akhirnya hal tersebut ditanyakan kepada Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama, Muhammadiyah Amin. Jawabnya, tak jelas. Hanya mengatakan akan mengeceknya.

Kemententerian Agama agaknya seperti tidak peduli dengan tingginya kasus perceraian. Kok bisa begitu, ya? Bukankah di kementerian ini orang-orangnya paling paham dalam urusan agama-agama, sesuai namanya dari kementerian itu sendiri?

Misal, kita tengok Undang-undang (UU) Nomor 22 tahun 1946 diamanatkan bahwa pengawasan dan pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk dilakukan menurut agama Islam. Sayangnya, dalam UU ini tidak menegaskan upaya untuk memelihara, merawat, dan menjaga kelestarian sebuah pernikahan.

Maka, jangan salahkan siapa-siapa bila angka perceraian tinggi saat itu.

Kita sepaham bahwa perceraian merupakan pintu masalah mental dan sosial bagi anak-anak, keluarga besar, bahkan lingkungan sosial terdekat.

Sementara itu UU tersebut juga tak mengantisipasi perkawinan sejenis, perkawinan antaragama, perkawinan siri, perkawinan kontrak (mut'ah), perkawinan di bawah usia hingga kini masih terus menjadi fenomena yang harus diselesaikan. Itulah dari kekurangan UU tersebut

 Namun Anda harus maklum, UU itu lahir ketika Indonesia baru berusia setahun. Jadi, dapat dipahami bila terjadi masalah di internal keluarga, itu diserahkan kepada masing-masing pihak untuk menyelesaikannya. Kemenag tidak mempunyai tugas langsung untuk menangani dan memberikan jalan keluar kasus-kasus yang terjadi dalam keluarga.

Dalam sejarah kawin-mawin di Tanah Air, UU yang ditetapkan di Linggarjati pada tanggal 21 Nopember 1946 itu hanya mengamanatkan pencatatan nikah, talak dan rujuk. Wilayah berlakunya pun terbatas, hanya untuk Jawa dan Madura. Daerah lain, nggak dipandang.

**

Kementerian Agama tak berdiam diri. Lalu, sebelum langkah strategis diambil dilakukan kajian akademik. Hal itu dimaksudkan agar pelaksanaannya dapat dipertanggungjawabkan di kemudian hari. Apa lagi dana sudah mendukung.

Fakta mencengangkan. Kajian sepanjang 1950-1954 memperlihatkan bahwa penelitian selama empat tahun dapat dipetakan kualitas kehidupan keluarga. Diperoleh hasil bahwa pernikahan yang dilaksanakan pada tahun tersebut hampir 60 persen diantaranya berakhir cerai. Sayang, hasil penelitian itu tidak dipublikasikan.

Dan beranjak dari kenyataan ini, beberapa pejabat di lingkungan kementerian itu, dengan mengajak para tokoh masyarakat dan ulama, merasa perlu mendidirikan suatu lembaga penasihatan perkawinan yang dapat memberikan penasehatan untuk memberikan jalan keluar terhadap kasus-kasus yang terjadi di dalam keluarga.

Lalu disepakati dan berdirilah lembaga penasihatan perkawinan di beberapa kota besar di Pulau Jawa, seperti di Jakarta, Bandung, Yogyakarta yang kemudian dipersatukan menjadi Badan Penasehat Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian (BP4).

Pada pertemuan 25-30 Januari 1961 di Cipayung diumumkan bahwa BP4 yang bersifat nasional telah berdiri pada 3 Januari 1960 dan sejak saat itulah berlaku Anggaran Dasar dan dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) yang baru.

Tujuan didirikannya BP4 adalah untuk meningkatkan kualitas perkawinan, mencegah perceraian sewenang-wenang dan mewujudkan rumah tangga yang bahagia sejahtera menurut tuntunan agama Islam.

**

Kita sepakat bahwa kebahagiaan dan kehormatan seseorang akan bermakna dibanding mereka yang dibesarkan tanpa keluarga. Sebab, melalui keluarga dapat dilahirkan manusia-manusia berkualitas, kuat dan mulia melalui keluarga yang dibangun atas dasar prinsip keyakinan agama yang benar, norma sosial dan aturan hukum yang berlaku di masyarakat.

Kita pun harus menyadari bahwa untuk menjadi keluarga sakinah tidak datang ujung-ujug. Harus direbut dengan meningkatkan kualitas saling percaya dan iman.

Pemerintah harus terus menerus mendorong kualitas pernikahan. Salah satu upaya untuk itu adalah pemilihan Kantor Urusan Agama (disingkat KUA) teladan, pasangan suami-istri sakinah.

Hal ini penting mengingat laporan dari Mahkamah Agung bahwa angka perceraian terus meningkat. Penulis tak berkompeten menyebut angka perceraian dan segala penyebabnya.

Sayang, pemilihan KUA dan pasangan suami-istri sakinah tak diselenggarakan lagi. Alasannya, dana di Kementerian Agama "cekak".

Kita tahu bahwa penghulu di sejumlah KUA memegang peranan penting dalam pencatatan perkawinan di daerahnya masing-masing. Sebab, hingga kini masih ada pasangan yang menikah namun tak mau dicatat.

Misalnya, kawin siri. Jika tak tercatat, ke depan, akan membawa implikasi hukum bagi anak-anak mereka dan bahkan persoalan lainnya.

KUA sudah harus mensosialisasikan nikah secara benar kepada masyarakat. Nikah siri dan segala dampaknya yang ditimbulkan harus dapat dicegah. Dengan sosialisasi pernikahan yang benar, maka ke depan, nikah siri akan dapat dihindari.

**

Muncuatnya kewajiban memperoleh sertifikasi perkawanin sayogyianya tak perlu dipertentangan. Sejauh mempunyai kebaikan bagi calon pasangan yang hendak menikah, maka hal itu perlu diapresiasi. Terlebih jika melihat kasus perceraian yang ditangani BP4.

Baru-baru ini Menko PMK Muhadjir Effendy mengatakan bahwa pasangan yang hendak menikah, akan diberikan pembekalan. Siapa pun yang memasuki perkawinan mestinya mendapatkan semacam "upgrading" tentang menjadi pasangan dalam berkeluarga.

Pembekalan berupa "upgrading" tersebut sesungguhnya pernah dilaksanakan oleh BP4 melalui program kursus calon pengantin atau Siscatin.

Rupanya Muhadjir menyadari bahwa pembekalan pranikah ini sangat bermanfaat. Terlebih lagi kini pada kelas bimbingan, masyarakat yang berencana menikah dibekali pengetahuan seputar kesehatan reproduksi, penyakit-penyakit yang mungkin terjadi pada permasalahan suami-istri hingga masalah stunting pada anak.

Nah, jika memang program tersebut direalisasikan pada tahun mendatang, bolehlah BP4 berbangga bahwa perannya kini kembali dipulihkan. Tangis dan air mata atas peristiwa perceraian memang harus dihentikan. Ke depan harus hadir SDM berkualitas dari pasangan harmonis. Ingat, perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah cerai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun