Kok, bisa ya?
Bisa jadi karena yang punya kuasa adminnya. Kecewa? Ya, tidak. Sebab, cara menolaknya sangat halus. Tulisan tak sesuai syarat dan ketentuan, kutipan tak boleh bla ... bla dan seterusnya. Begitu alasannya.
Penulis sebut cara penolakannya sopan lantaran jika dibandingkan pada tempo doeloe, redaktur menolak karya jurnalisnya dengan cara kasar. Naskah yang sudah diketik rapi dan kemudian dinilai tak laik terbit, oleh redaktur dikoyak di muka si wartawan.
Lembaran kertas hasil karya berupa liputan kemudian dilempar ke keranjang sampah. Lalu, si jurnalis diminta menulis lagi.
Jika sudah diberi tahu cara menulis harus sesuai panduan tak juga dipatuhi, jangan nilai redaktur tadi makin ramah. Bisa jadi redaktur makin marah dan mengeluarkan kalimat kasar.
Itu pengalaman masa lalu penulis, sih!
Nah, kebiasaan menulis sesuai panduan menulis di tiap manajemen surat kabar (kantor berita) berbeda-beda. Setiap penerbitan, sepengetahuan saya, punya panduan dan langgam dalam menulis artikel, berita atau pun opini di medianya masing-masing.
Ada yang menekankan banyak kutipan dan melarang kalimat opini masuk. Tapi, untuk media sosial, yang longgar sekali aturannya.
Karena itu, pada awal menulis di Kompasiana, kebiasaan menulis mengutip sumber berita terlalu banyak tak diperkenankan. Maka, jadilah tulisan itu ditolak admin Kompasiana.
Beruntung, tulisan di Kompasiana banyak yang bagus-bagus. Penulis pun benyak menimba pelajaran dari rekan-rekan di sini. Hingga akhirnya, Kompasiana menjadi "madu" yang mengasikan dalam dunia tulis menulis.
Salam hormat. Sekedar berbagi.