Lantas, bolehkan "keracunan" menulis di Kompasiana itu bermakna positif, Â atau disebut sebagai "madu" ?
Penulis berpendapat, bisa juga disebut sudah ketagihan madu. Ketagihan madu dari Yaman yang banyak dijual di Pasar Jeddah, Arab Saudi. Madu di sini sangat terkenal. Jemaah haji dari Indonesia kala musim haji sering bertandang dan berbelanja di tempat itu. Keren.
Tapi tentu bukan bermaksud bahwa Kompasiana itu "madunya" penulis. Hati-hati dengan kalimat itu karena bila diplintir dapat menimbulkan masalah dalam kehidupan rumah tangga. Kompasiana sejatinya telah menjadi wadah positif untuk menyalurkan gagasan, pikiran dan hiburan. Melalui media Kompasiana pula diperoleh hiburan dan pendidikan, perluasan wawasan yang dituangkan rekan-rekan penulis lainnya.
Pokoknya, di Kompasiana didapati informasi beragam.
Jika kita membaca surat kabar atau mendengarkan radio dan menyaksikan tayangan berita melalui televisi, beragam komentar atas pemberitaan yang tengah aktual cepat didapati di Kompasiana. Melalui Kompasiana seolah suara kita terwakili oleh para penulisnya. Lantas, penulis ikut-ikutan dengan mencari sisi lain yang belum diungkap.
**
Penulis mengapresiasi Tjiptadinata Effendi, pendiri dan Ketua Yayasan Waskita Reiki Pusat Penyembuhan Alami yang bermukim di Australia. Ia rajin menulis di Kompasiana dan dari sinilah penulis merasa termotivasi untuk ikut jejak beliau dalam hal tulis menulis.
Penulis ini juga kaya hati. Ia pernah menghadiahi penulis beberapa buku, termasuk buku bernuansa Tarekat. Bacaannya tinggi sekali.
Melalui tulisan-tulisannya, ia banyak melontarkan gagasan dan hal yang penting bahwa dalam menulis (di Kompasiana) tidak boleh berdusta. Katanya, sekali berdusta, maka dalam hitungan detik sudah cepat menyebar ke seluruh dunia. Wuih, makanya hati-hati.
Ia melukiskan pengalamannya, "begitu saya posting tentang perjalanan ke Kalgoorlie,dalam hitungan detik ,sudah ada pesan WA dari cucu dan ponakan di Indonesia.Bahkan adik kami yang berada nun jauh di negeri asalnya Ice Cream Gelato, yakni Italia."
Pengalaman pribadi menulis di Kompasiana, awalnya sungguh menjengkelkan. Mengapa? Ya, lantaran ditolak.