Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Salahkah Penjahat Tiba-tiba Jadi Seorang Santri?

22 Oktober 2019   22:26 Diperbarui: 22 Oktober 2019   22:45 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Iya. Sebab, para kiai yang memimpin pondok pesantren dianggap sebagai pemimpin pemberontakan. Kiai memimpin gerilya dan penggerak masa untuk melawan penguasa.

Realitasnya memang hubungan kiai dan politik berlangsung pasang surut. Ketika Gus Dur, sebutan Presiden Abdurrahman Wahid, peran kiai dengan lembaga pendidikan yang dipimpinnya, pondok pesantren, demikian menonjol. Kunjungan pejabat terlihat lebih sering dibanding sebelumnya.

Fenomena itu terjadi saat menjelang Pilkada dan Pilpres. Kunjungannya pun lebih banyak diwarnai aroma politik karena arahnya mudah ditebak, yaitu guna mendulang suara.

Sejatinya kiai itu adalah mereka yang ahli agama, tinggal di tengah para santrinya, jauh dari kepentingan dan pendekatan politik, menjadi teladan dalam kesederhanaan dan kesalehan hidup.

Kiai adalah tempat masyarakat berkonsultasi sejak dari memberi nama anak baru lahir sampai pembagian waris, termasuk berbagai problem sosial lain. Gambaran sosok kiai seperti itu tentu masih banyak, namun realitasnya cenderung berkurang jumlahnya karena berbagai alasan, utamanya lebih tertarik ke bidang politik.

**

Makanya, tak heran, kita pun sering mendengar dan membaca berita bahwa Indonesia telah kekurangan kiai. Yaitu, sosok kiai yang bukan saja ahli dalam bidang agama tetapi memahami problem sosial yang berkembang di tengah masyarakat. Kiai juga harus menjadi teladan dan mengayomi warga sekitar.

Citra pesantren dan santri sebagai lembaga pinggiran dengan kaum sarungannya telah berubah sejak Gus Dur menjadi Presiden RI keempat. Pondok pesantren tak lagi dicitrakan sebagai lembaga tertutup, tetapi terbuka. Bahkan pemikiran liberal masuk, namun tetap berakar pada tradisi keislaman.

Bersyukurlah, bahwa kini banyak intelektual muda berasal dari kalangan pesantren dan memperoleh pendidikan di sejumlah negara Barat.

Menyaksikan realitas seperti itu, kini kita pun patut berbangga, bahwa pondok pesantren mulai diminati para orang tua. Belakangan ada kecenderungan orang tua lebih memilih memasukan putera-puterinya ke pesantren dengan pertimbangan agar anaknya berakhlak mulia.

Terlebih lagi, di pondok pesantren, para pengajarnya mengkombinasikan ilmu agama dan umum. Anak belajar di pondok pesantren lebih terawasi dalam pergaulan dan teratur kegiatan belajar dan bermain, sedangkan biaya yang dikeluarkan relatif kecil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun