Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Arab Saudi Tengah Berproses Menuju Negara Sekuler?

15 Oktober 2019   10:17 Diperbarui: 16 Oktober 2019   16:48 3072
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dari kunjungan umrah dan haji saja Arab Saudi seharusnya sudah kaya. Dengan reformasi ekonomi dan sosial, dipastikan negeri ini kebanjiran turis meski punya dampak negatif. Foto | Dokpri

Arab Saudi kini ditengarai tengah berproses menuju negara sekuler. Timbul kekhawatiran bahwa Raja Salman akan meninggalkan peran sebagai pelindung tanah suci umat Islam, yaitu Mekkah dan Madinah.

Pangeran Muhammad bin Salman bisa jadi dianggap sebagai motornya. Mengapa? Sebab, melalui dialah kebijakan yang dikeluarkan selama ini  mengesankan bahwa Arab Saudi tengah berproses menjadi negara sekuler.

Kebijakan melonggarkan aturan-aturan bagi kaum perempuan, seperti tak perlu lagi mengenakan abaya, dibolehkan menonton pertandingan sepakbola, mengemudi di jalan raya hingga dibenarkan menjadi anggota meliter, merupakan terobosan sekaligus menguatkan pendapat negara tengah berproses menuju sekuler.

Jika Pangeran Muhammad bin Salman ingin menjadikan negara itu sebagai negara modern, sejatinya negara ini sudah modern seusai peristiwa kudeta Mekkah pada tahun 79-an silam.

Sekedar catatan  jika melihat sejarah negeri itu terkait setiap kali dilakukan perubahan sosial timbul persoalan. Salah satunya ketika terjadi pemberontakan pimpinan Juhaiman al-Utaibi pada 20 November 1979 silam.

Kelompok Juhaiman al-Utaibi memprotes pemerintah yang saat itu dianggap bobrok. Awalnya, tentara Saudi keteteran oleh perlawanan Juhaiman dan pengikutnya. Tetapi akhirnya, dengan bantuan beberapa pimpinan militer Prancis, tentara Saudi berhasil melumpuhkan "pemberontakan", kelompok Islam radikal tersebut.

Kini putra Mahkota Muhammad bin Salman, yang belakangan ini namanya makin berkibar di negeri itu, telah mengambil banyak keputusan penting dalam sejarah Saudi. Salah satunya, yaitu menempatkan posisi perempuan sejajar dengan pria. Emansipasi seperti di Indonesia. Tokoh yang satu ini memang dikenal sebagai reformator dan memiliki garis keras di lingkungan kerajaan.

Mahkota Muhammad bin Salman di negeri itu biasa disebut sebagai "MBS" atau "Mr. Everything". Ia diangkat sebagai putra mahkota pada 20 Juni 2017. Dalam tradisi kerajaan negeri ini, ia dapat dipastikan resmi menjadi penerus pemegang kekuasaan  Saudi menggantikan Pangeran Muhammad bin Nayef.

Jejak MBS diawali sebagai gubernur Riyadh di usia 31 tahun. Muhammad tercatat sebagai menteri pertahanan termuda di dunia. Namun citranya sebagai seorang reformator terbentuk ketika ia menduduki posisi kepala dewan yang memimpin reformasi ekonomi  Arab Saudi. Proyek yang dikenal dengan sebutan "Visi 2030".

Dalam berbagai pemberitaan, Pangeran Muhammad bin Salman berniat membentuk Arab Saudi menjadi negara moderat pada 2030 nanti. Bisa jadi hal itu dimaknai secara bertahap masyarakatnya tak lagi mau disebut konservatif. Nah, jika sudah liberal, proses menuju pemisahan urusan keagamaan dengan negara ke depannya akan lebih mudah.

Aturan paling kontroversial dikeluarkan, yaitu soal pemberian visa turis. Di situ diatur bahwa pasangan turis asing belum menikah boleh menginap dalam satu kamar hotel.

Hal ini sama saja membenarkan hadirnya prostitusi di negara tersebut. Jika kita dari Indonesia memposisikan diri sebagai turis, lalu berjanji dengan wanita dari Iran untuk nikah kontrak di sini, ya boleh saja.  Tidak nikah pun boleh satu kamar. Hehehe.

Urusan pengaturan yang menyangkut hak privasi bagi turis seperti ini memang rada sensitif. Di tanah air saja, ketika kondom boleh dijual di toko-toko swalayan, reaksi publik beragam. Ada yang menuduh pemerintah melegalkan prostitusi tetapi di lain pihak ada yang mendukung dengan alasan melindungi warga dari penyakit AIDS.

Hehehe jadi boleh berhubungan badan selama menggunakan kondum, gitu kesan yang ditangkap.

Karena itu, reaksi kebijakan tentang turis tadi dinilai pemerintah Arab Saudi sebagai tengah kebablasan.

Apa lagi kini dimungkinkan wanita untuk menyewa kamar hotel tanpa disertai wali pria, dan turis pria bersama wanita bukan muhrimnya dapat menginap dalam satu kamar tanpa bukti pernikahan. Jika itu memang diberlakukan, tak mustahil di negeri itu akan bermunculan kawasan prostitusi.

Kini publik menilai bahwa Arab Saudi semakin terbuka melalui pencanangan program reformasi Visi 2030. Di dalam visi itu tercakup di dalamnya reformasi  di bidang pariwisata.

Untuk menyukseskan itu, Pemerintah Arab Saudi menghabiskan anggaran untuk membangun industri pariwisata dan hiburannya, membuka bioskop, mengizinkan konser. Wuih, kerenkan.

Nah, jika kebijakan ini berlangsung tanpa pengawasan memadai, sungguh sangat dikhawatirkan bermunculan penyakit dari kawasan prostitusi. Mabuk sudah jelas akan hadir karena minuman keras dibolehkan masuk.  Sementara yang ditakutkan muncul penyakit AIDS. Coba buka lembaran pemberitaan, di negeri syiah, penyakit AIDS bermunculan sebagai dampak dibolehkannya nikah mud'ah alias nikah kontrak.

Tanda-tanda bahwa negeri itu berproses ke arah sekuler dapat tergambar dari kebijakan penggunaan kalender masih.

Seperti dikutip dari Kompas.com, mulai Sabtu (1/10/2016), Pemerintah Arab Saudi secara resmi menggunakan kalender dengan penanggalan Masehi untuk menggantikan kalender Hijriah yang sudah digunakan sejak negeri itu berdiri pada 1932.

Keputusan itu diambil pada rapat kabinet. Dengan begitu, maka berbagai hal seperti pembayaran gaji, tunjangan, dan berbagai jenis pembayaran, harus menyesuaikan dengan sistem penanggalan baru.

Perubahan penggunaan kalender itu tentu saja berdampak pada para pegawai negeri setempat. Yaitu, mereka menerima gaji tahunan lebih sedikit dari yang biasa mereka terima.

Sebab, jumlah hari dalam tahun Hijriah yang selama ini digunakan di Arab Saudi 11 hari lebih pendek ketimbang jumlah hari dalam perhitungan tahun Masehi. Perubahan penggunaan penanggalan ini dimaksudkan sebagai penghematan anggaran yang sedang dilakukan Pemerintah Arab Saudi terkait terus merosotnya harga minyak dunia.

Lantas, akankah Raja Salman akan meninggalkan peran sebagai pelindung tanah suci umat Islam, yaitu Mekkah dan Madinah. Bisa iya dan bisa juga tidak.

Jika masih mempertahankan sebagai Penjaga Dua Kota Suci (Khadim al-Haramain asy-Syarifain), maka hal itu berarti Raja Salman masih tetap memegang tradisi pendaulunya yaitu Raja Saudi pertama yang mengambil gelar ini,  Fahd bin Abdul Aziz pada tahun 1986.

Raja Fahd mengganti istilah "Paduka Yang Mulia" (Shahib al-Jalalah) dengan "Penjaga Dua Kota Suci". Berikutnya, Raja Abdullah bin Abdul Aziz, juga mengambil gelar yang sama setelah kematian Raja Fahd, kakak tirinya, pada tahun 2005.

Bila gelar itu benar-benar tak digunakan lagi, ya bisa jadi Arab Saudi benar-benar menjadi negara sekuler.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun