Gelas kopinya kecil. Bisa jadi jika dihitung tiga hingga empat kali tenggakan segelas kopi kental seketika habis. Orang duduk di sebelah menyebut, tuh gelasnya bocor. Kopinya tambah lagi, encik?
Kopi kembali diantar sang pemilik kedai. Encik, panggilan para pengunjung kedai, memang pandai mengolah seduhan kopi dengan cara memasukan sesendok kopi dalam kantong, lalu diseduh ke dalam wadah besar. Kopi seduhan diangkat, kemudian dimasukan ke dalam gelas kecil.
Ada yang suka kopi dengan tambahan susu kental manis. Ini baru namanya Kopi Susu Kekinian. Namun ada yang cukup ditambah gula pasir tanpa susu. Tapi, para meniak kopi biasanya lebih suka kopi tanpa gula dan susu.
Di kedai kopi, pemilik kedai menggiling biji kopi tanpa tambahan jagung, kacang iju atau kelapa. Murni kopi yang dibeli dari petani lokal.
Kedai kopi bertebaran di sudut kota Pontianak. Kebanyakan penikmat kopi 'nongkrong' kala pagi dan petang. Mereka ini akan terlihat gembira jika disuguhi roti bakar dibumbui selai nanas (srikaya). Wuih, kalau sudah begitu, mertua lewat bisa tak ditegur. Itu saking nikmatnya. Â Â
Bisa jadi, karena saking banyaknya, petani menyesiasati diolah menjadi selai. Jika tak diolah, ya tentu nanas cepat busuk.
Sebagai catatan, penulis pernah menyaksikan cara membuat selai nanas. Sangat sederhana membuatnya. Siapkan bahan, pilih nanas yang tua dan matang, kupas, cuci bersih.
Lalu, nanas diparut. Bagusnya pakai parutan kelapa bermesin. Biar cepat. Â
Siapkan wajan, masukkan nanas parut. Apabila sudah mengental tambahkan kayu manis, cengkeh dan gula. Masak sampai kental dan berwarna coklat kuning keemasan. Lalu, ya angkat. Bolah coba. Pasti nikmat.
**
Kembali soal ngopi. Para pedagang kopi di sejumlah kedai ternyata mendapatkan kopi dari petani kopi di luar kota Pontianak. Mereka untuk mendapatkan kopi berkualitas menjumpai petani yang tengah menjemur biji kopi di pekarangan rumahnya masing-masing.
Untuk kebutuhan konsumsi di rumah, penulis pun melakukan hal serupa. Membeli kopi langsung dari petani. Biji kopi lalu dibawa ke pasar. Di sana, penulis minta bantuan pedagang kopi untuk menggilingnya. Tanpa campuran. Enak rasanya.Â
Apa lagi kopi yang sudah digiling itu bukan diseduh langsung, tetapi dimasak di dalam wajan. Setelah mendidih, kopi diangat. Lantas disaring masuk ke dalam gelas. Hirup, seriuput. Wuih, nikmat.
Tapi, cara menikmati kopi di kedai memang jauh lebih terasa nikmat. Apa lagi ditemani sejumlah teman. Ngobrol berbagai hal, mulai isu politik hingga tokoh masyarakat yang tengah mendapat sorotan publik. Misal, soal perselingkuhan pejabat. Atau, koruptor.
Penulis yang pernah bermukim di kota seribu kedai kopi ini tahu lokasi pedagang kopi yang nikmat. Tapi jangan kaget bagi pendatang yang menyaksikan pedagang yang tengah menyeduh kopi tak mengenakan baju. Atau merasa risih takut keringat ketiaknya ikut terbawa ke dalam gelas. Hehehe.
Biasanya penulis ngopi ketika pagi hari. Â Saat hari lubur, Sabtu dan Minggu sangat menyenangkan. Sebab, kala itu banyak pejabat ikut mengantar isteri berbelanja di pasar tradisional.Â
Nah, saat menanti kedatangan istri tercinta usai berbelanja, mereka kumpul di warung kopi. Ketika mengonsumsi kopi di situ, tak ada larangan bagi siapa saja untuk bergabung.
Jadi, jangan melulu Pontianak disebut sebagai kota hantu. Ternyata di kota itu belakangan ini lebih terkenal dengan sebutan Seribu Warung Kopi. Alasannya, ya hampir di tiap ruas jalan dan sudut pusat keramaian hadir kedai kopi.
Sebut saja Jalan Gajahmada Pontianak dan Jalan Tanjungpura kini populer dengan sebutan "Coffee Street". Â Â Â
Sejatinya, budaya ngopi di kedai kopi di berbagai kota tak melulu dimonopoli etnis tertentu. Misalnya etnis Melayu dan Cina. Ternyata ketika penulis ke Singapura, Thailand dan Malaysia punya kesamaan.
Di Hat Yai, kota di bagian selatan Thailand, tepatnya Provinsi Songlah yang berbatasan dengan Malaysia, Â warganya pandai mengolah kopi. Cara menyeduh kopi tak berbeda jauh dengan etnis Cina di Pontianak.
Pada umumnya mereka mengaku kopi yang dipindahkan dari gelas besar ke gelas lainnya dengan cara ditarik melar, seperti karet, Â ternyata lebih nikmat lantaran aromanya yang tertangkap hidung. hmmmm nikmattt!
Ketika ngopi di kedai, penulis mendapat kesan bahwa wajah para pengopi bagai seorang juragan. Mereka, sambil menyeruput kopi diiringi musik, duduk menyilangkan kaki. Padahal, tak semua pecinta kopi, saat itu tengah berdompet tebal.
Yang jelas, ketika hadir di kedai kopi, apakah dia seorang juragan berstatus sosial tinggi dan orang miskin, saat itu punya perilaku sama ketika ngopi. Yaitu, gembira dan ramah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H