Begini. Di penghujung Agustus lalu, tepatnya Ahad (25/8/2019), tetangga yang kami anggap sebagai enek sendiri, Hj. Sofni binti Buyung, wafat. Ia memang etnis Padang. Tapi bukan Padangnya yang kami menjadi merasa dekat semasa ia sehat. Ia selalu memberi perhatian kepada para tetangga meski dalam keadaan sakit.
Secara kebetulan pada Ahad itu isteri penulis membuat rendang. Ya, tak banyak. Sekitar 2 kg. Buatnya pun usai shalat Subuh.
Pada Ahad siangnya, sekitar Pukul 09.00 Wib, kami mendapat kabar nenek Sofni wafat. Kami, sekeluarga kaget. Sontak berlarian ke kediamannya. Kita saksikan, anak dan cucu tengah menangis.
Para tetangga lain pun ikut berdatangan.Â
Nah, sudah menjadi kebiasaan di lingkungan kediaman kami, jika ada warga tertimpa musibah, para ibu dengan cepat menggelar rapat kilat.
Isi rapat membahas soal masak-memasak yang hasilnya akan disuguhkan kepada para tamu, pekerja yang membantu anggota keluarga tengah tertimpa musibah, dan relawan yang ikut mengantar ke pemakaman.
Menariknya, ketika makanan yang dibuat para ibu disuguhkan, diam-diam isteri penulis membawa rendang yang dibuatnya. Rendang disajikan di atas meja bersama makanan buatan para ibu lainnya.
Eh, luar biasa. Ternyata, rendang buatan isteri penulis menjadi sasaran prioritas pertama untuk disantap bersama nasi. Makanan lainnya, maaf, seolah dinomorduakan.
Di sini, ada perasaan bangga bahwa rendang buatan isteri penulis disukai banyak orang. Di sisi lain, jadi malu juga sih, makanan lain jadi dinomorduakan.
Ya, begitulah daya magnit rendang, makanan khas orang padang. Untung para ibu di situ tidak meradang karena makanannya tak cepat habis.
Rendang memang sudah menginternasonal. Apa buktinya?