Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

[Bagian 5] Belajar Mistik, Makrifat, hingga Tangkap Hantu

10 September 2019   18:58 Diperbarui: 10 September 2019   19:02 393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Foto:dok : Penkostrad) | republika.co.id

Dialog dengan "Penguasa" Gunung Sanggabuana
Penulis sedih. Mengapa? Ya, karena tugas sebagai kepala biro sekitar 8 tahun di Pontianak, Kalimantan Barat, berakhir. Awal 2002, Pemimpin Umum Antara di Jakarta menarik penulis untuk kembali bertugas di kantor pusat, Wisma Antara Jalan Merdeka Selatan 17.

Ketika berlangsung konflik antaretnis, penulis "berteriak" pinta ditarik ke Jakarta secepatnya. Tapi tak dipenuhi. Ketika suasana sejuk hadir di bumi khatulistiwa itu, baru diminta untuk balik. Ya, hati menolak.

Tapi, apa boleh buat, sebagai bawahan harus menurut. Penulis pun tak tahu langkah kaki harus kemana lagi, yang terpenting sudah ditanamkan dalam hati, kata dan perbuatan harus diarahkan sebagai ibadah semata. Hidup harus bermanfaat bagi orang sekitar. Setiap saat dan dimana pun.

Sikap demikian boleh jadi muncul dipengaruhi begitu mendalamnya ajaran makrifat yang didapat selama bermukim di Pontianak.

Ada perubahan pada diri penulis ketika kembali ke "habitat" di kantor pusat. Banyak mendatangi kamar kecil, untuk menyembunyikan tangisan. Cengeng banget, rasanya. Penyebabnya bisa datang dari hal ringan. Misal, menangis ketika menyaksikan orang-orang berebut jabatan, menangis menyaksikan mahluk aneh diiringi bau kemenyan ketika keluar dari mushola.

Ini sekedar testimoni saja. Bentuknya tinggi besar, kepala botak, perut buncit berdiri di hadapan penulis yang baru usai shalat magrib. Rupanya ia tengah menanti seseorang untuk dianiaya. Ya, tentu saja penulis memberi reaksi "keras", dengan berbicara seperti seorang diri sambil mengancam jika tak pergi akan menghadapi resiko.

Ya, ngancam hantu. Gitu, kira-kira maksudnya.

Mahluk halus dalam KisahHoror ternyata tak melulu di tepi hutan. Di gedung pencakar langit pun bisa hadir karena diundang seseorang setelah meminta bantuan dengan sang dukun. Serem, kan?

Bersyukurlah penulis yang sejak lama diajari untuk terus menerus minta perlindungan kepada Allah semata. Kala memasuki wilayah baru, diajari membaca doa Nabi Sulaiman. Sopan santun kepada siapa pun.

Manfaatnya dirasakan ketika penulis ditugasi untuk meliput di wilayah Daerah Operasi Militer (DOM) Aceh. Penulis terlebih dahulu diminta untuk ikut latihan ketahanan fisik di Gunung Sanggabuana. Tepatnya sih seusai Pemerintah mengumumkan status operasi darurat milier di Aceh, yang kemudian dikenal dengan sebutan DOM.

TNI, saat itu, mengambil kebijakan melibatkan jurnalis selama operasi militer berlangsung dengan terlebih dahulu memberikan pengetahuan dan pelatihan dasar militer di Pusat Latihan TNI Sanggabuana, Karawang, Jawa Barat. Pelatihan ini kemudian dikenal sebagai embedded journalist. Dengar sebutannya saja, wuih terasa keren banget.

Penulis tak menyoal pemberian pelatihan oleh TNI tersebut yang kemudian menjadi kontroversial sesaat para jurnalis menggunakan seragam baju loreng lengkap dengan sepatu lars sama dengan pakaian dinas tempur milik TNI. Kala mengenakan pakaian itu, diri ini terasa gagah.

Yang jelas, selama ikut latihan, penulis memperoleh pemahaman bagaimana warga sipil harus berdisiplin dalam kehidupan sehari-hari. Rasa cinta kepada negeri mekar dalam dada meski selama berlatih punya kesan pelatihnya galak. Selama berlatih, jurnalis diberi pemahaman bertahan hidup dalam medan pertempuran. Juga belajar menembak menggunakan senapan. Gemetar juga pegang senjata laras panjang.

Selain dentuman suara peluru dan bom diperkenalkan, para jurnalis dilatih seperti seorang Pramuka. Berjalan di malam hari di hutan, ditakuti hantu buatan dengan membuat kuburan palsu dan bantal guling melayang di udara dengan aroma bau menyan menyengat semalam suntuk.

Yah, namanya uji mental. Termasuk memegang kepala ular yang mulutnya diplester lakban. Hehehe, seru bangat sih. Nggak salah bangat sih jika rekan kompasianer bolelah minta dilatih di sini. Hehehe.

Ketika shalat lima waktu di mushola dekat pemondokan, antarsesama pelatih bicara berbisik-bisik dekat penulis. Sedikit dikerasi. Ia menyebut-nyebut di pojok sana ada hantu. Di dekat emperan penginapan ada mahluk gede dan seterusnya.

Penulis paham, bisik-bisik yang suaranya diperdengarkan kepada penulis dimaksudkan untuk menakut-nakuti. Padahal, si pelatih itu sendiri tak tahu posisi hantu berada. Saat berbisik-bisik dengan sesama instruktur, penulis lihat kelebat bayangan hitam mahluk halus tengah berada jauh di luar mushola.

Gunung Sanggabuana terletak di perbatasan empat kabupaten. Letaknya persis di ujung Karawang, Purwakarta, Cianjur dan Bogor. Memiliki ketinggian 1.291 Mdpl, gunung itu dikenal sebagai tempat yang sakral. Sejumlah masyarakat Karawang percaya ada makam keramat di puncak Sanggabuana. Makam keramat itu sering diziarahi masyarakat.    

Bagi penulis, hal berikut ini tak kalah menariknya. Berawal perjalanan rombongan jurnalis dari Mabes TNI Cilangkap, Jakarta. Perjalanan butuh waktu sekitar satu setengah jam.  Tiba di lokasi, kami, rombongan turun dari truk disambut dengan teriakan para instruktur sambil memukul-mukul truk dengan benda keras.

Wah, kita diperlakukan seperti kerbau yang tengah diusir dari truk ketika diturunkan pemiliknya. Sambil berteriak, instruktur memberi perintah berulang-ulang untuk cepat turun.

Para instruktur, lengkap dengan pakaian militer dan menenteng senjata laras panjang, berteriak. Katanya, kalian datang ke sini untuk berlatih. Bukan rekreasi, tapi berlatih menghadapi peluru tajam.

Dalam hati penulis, rupanya masih ada peluruh tumpul, ya? Hehehe.

Lantas, bagaimana penulis menyikapi keadaan itu agar bisa berdoa? Sudah menjadi kebiasaan memasuki wilayah baru selalu didahului doa.

Satu-satunya jalan meloncat dari truk. Lantas, pura-pura membetulkan tali sepatu. Setelah itu berdoa sambil telapak tangan diletakan ke bumi, mengambil butiran tanah dan menciumnya. Disusul minta perlindungan kepada Allah, dengan merendahan diri agar semua anggota rombongan selamat dari berbagai gangguan.

Tak lupa, doa Nabi Sulaiman dipanjatkan sambil meminta kepada Sang Maha Kuasa agar "pemilik" wilayah tidak berbuat jahil, atau tersinggung karena kedatangan rombongan yang tak memahami etika. Maklum, kita harus memahami dunia nyata dan "penguasa alam lain" yang memang berbeda.

Ketika para jurnalis digiring menaiki tangga menuju titik pusat pelatihan, suara dentuman senjata menggelegar. Bagi jurnalis muda, mudah saja mereka melaju naik jalan bertangga. Bagi penulis yang sudah berusia di atas 50-an, ya ngos-ngosan dan harus menaiki tangga perlahan agar tenaga tak terkuras habis.

Peluru memang tak punya mata. Tapi mata hati lebih tajam, pikirku. Dan, karena dianggap fisik tak bagus, di pundak penulis diberi pita putih. Mungkin sebagai tanda fisik tak bagus. Tak apa lah, pikirku.

Seingat penulis, pelatihan di kawasan kawa candradimuka bagi para prajurit kesatuan Kostrad ini berlangsung tiga hari. Lelahnya, sungguh luar biasa.

Pada acara penutupan, suasana hari menghinggapi seluruh peserta. Muncul satu perasaan, cinta kepada NKRI. Namun di luar itu, kala acara penutupan sudah berakhir, penulis tergopoh-gopoh pergi ke tepi sungai kecil.

Beruntung penulis mendapati batu besar untuk shalat Subuh. Lantaran tempatnya tidak rata dan waktu shalat subuh semakin mendekati berakhir, penulis shalat dengan cara duduk. Tak tahu arah kiblat dimana. Kira-kira saja menghadapnya ke arah Barat. Mau bertanya, tak ada rekan.

Nah, usai shalat, penulis manfaatkan untuk berzikir dengan bacaan ayat yang pendek-pendek. Tak disangka, kala mata terpejam berkosentrasi berzikir, seolah hadir di hadapan penulis "penguasa" setempat, ya mahluk "asing".

Seolah ia mengajak penulis berdialog. Mahluk ini sulit digambarkan bentuknya. Sepintas seperti Naga dalam film pada sebuah Kerajaan di Cina. Besar. Mahluk itu mengenakan mahkota. Ia bicara dengan bahasa tubuh, matanya yang besar tak memberikan isyarat sebagai mahluk kasar. Apa lagi beringas. Ia ramah.

Lalu, kata-kata dari dalam hati penulis meluncur. Ungkapan rasa terima kasih pun diterima dengan menganggukan kepala. Kemudian, ia beranjak mundur dan terbang ke angkasa.

Saat terbang itulah penulis saksikan ranting, pohon berikut akarnya ikut terangkat ke udara. Pohon terangkat berputar-putar seperti diangkat angin puting beliung.

Bersambung....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun