Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jokowi Diharapkan Perhatikan Kearifan Lokal di Tanah Borneo

29 Agustus 2019   21:42 Diperbarui: 30 Agustus 2019   05:48 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rombongan FH'20 Usakti Jakarta tengah santai di tepi Sungai Mahakam. Foto | Dokpri

Meski masih menjadi pembicaraan di berbagai kalangan, penetapan lokasi ibu kota baru di Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, saat ini sudah final.

Tim kajian menyimpulkan bahwa kawasan baru yang akan dijadikan ibu kota baru nanti diyakini minim risiko bencana, baik banjir, gempa, tsunami, kebakaran hutan, maupun tanah longsor.

Lokasinya juga dinilai strategis. Presiden Joko Widodo (Jokowi), seperti diwartakan Kompas.com, melihat dari aspek geografis wilayahnya berada di tengah Indonesia.

Jika ditarik koordinat, lokasinya berada di tengah-tengah wilayah Indonesia, sebut Jokowi.

Pertimbangan lain menetapkan wilayah itu sebagai ibu kota negara baru lantaran berada dekat perkotaan yang sudah terlebih dahulu berkembang, yakni Kota Balikpapan dan Kota Samarinda. Ditambah lagi kelengkapan infrastruktur yang memadai.

Masih banyak dasar pemikiran pemerintah memindahkan ibu kota negara dari Jakarta ke Kalimantan Timur. Di antaranya mengurangi beban Jakarta dan Jabotabek, pemerataan pembangunan, mengubah mindset pembangunan dari Jawa Centris menjadi Indonesia Centris.

Memiliki Ibu kota yang menerapkan konsep smart, green, and beautiful city untuk meningkatkan kemampuan daya saing (competitiveness) secara regional maupun internasional. Tak kalah penting adalah meningkatkan pengelolaan pemerintahan pusat yang efisien dan efektif.

Jadi, melihat realitas yang ada dan atas dasar pemikiran itu, pemindahan ibu kota ke luar Pulau Jawa adalah sebuah keharusan.  

Kita pun sepakat bahwa memiliki ibu kota negara harus merepresentasikan identitas bangsa, dan penghayatan terhadap Pancasila. Nah, dalam kontek ini, Indonesia sejatinya punya modal yaitu kebinekaan sebagai modal sosial.

Untuk itulah pembangunan ibu kota baru harus pula memperhatikan kearifan lokal yang tumbuh di Tanah Borneo. Tegasnya, modal sosial yang sudah dimiliki penting dijaga jangan sampai digerus oleh gaya hidup hedonisme. Sementara nilai spiritual yang ada di ranah lokal tak boleh dipandang sebelah mata.

MaKan buah Lay, durian khas Kalimantan Timur. Lezatt. Foto | Dokpri
MaKan buah Lay, durian khas Kalimantan Timur. Lezatt. Foto | Dokpri
**

Dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Pribahasa yang nampaknya usang itu jangan dipandang enteng. Masih tetap aktual. Di negara maju seperti Singapura sekalipun, kala kita bertandang ke negeri singa itu, berlaku pribahasa itu.

Misalnya, jangan makan permen karet, ya kita ikuti. Peraturan negeri Singa itu menyebutkan, jangan merokok dan membuang sampah sembarang tempat, ya harus kita diindahkan. Kalau nggak, tentu bisa berurusan dengan pihak berwajib.

Demikian halnya bagi warga yang akan "hijrah" dari Jakarta ke ibu kota baru nanti, harus mengindahkan kearifan lokal.

Sekedar memberi pemahaman bahwa etnis Dayak adalah penduduk lokal Pulau Borneo, yang kini lebih dikenal Kalimantan. Suku Dayak sangat menghormati warga pendatang dan mudah beradaptasi dengan lingkungan baru.

Dari berbagai suku Dayak di Kalimantan Tengah, Suku Dayak Ngaju memiliki kebudayaan yang cukup kuat punya pengaruh di daerah tersebut. Sampai kini masih menganut kebudayaan para leluhurnya.

Rumah adat Suku Dayak Ngaju dikenal sebagai Rumah Betang. Panjang bangunan bisa mencapai 63 depa, lebar 10 depa.  Satu depa kira-kira 1,5 m. Tinggi sekitar 2,5 sampai 3 meter. Semua sanak keluarga dalam satu atap, sehingga mudah ketika menghadapi musuh. Di dalam Rumah Betang itu diatur ruang tamu, ruang serba guna, hingga ruang untuk bermusyawarah antaranggota keluarga.

Sejatinya Suku Dayak Ribun dan suku Dayak Pompagng menempati Kalimantan Barat, di kelililingi sungai sebagai sarana lalu lintas utama. Rumah umumnya dibangun di atas dan di pinggiran sungai.

Karena itu Dayak Ribun dan Pampagng di Kalimantan Barat disebut juga sebagai rumah perahu, karena bentuknya seperti perahu. Suku ini juga disebut sebagai suku perahu.

Tapi, secara umum, baik Suku Dayak yang bermukim di Kalimantan Barat dan Tengah, termasuk di Kalimantan Timur, memiliki pekerjaan utama. Yaitu, bertani dengan cara berpindah-pindah.

Realitasnya, ketika penulis bertandang ke provinsi Kalimantan Timur, ada beragam suku bangsa. Dalam perkembangan sejarah, tercatat ada satu etnis punya peranan penting di Kalimantan Timur, yaitu etnis Kutai. Suku ini merupakan suku melayu asli Kalimantan Timur, yang mendiami wilayah pesisir Kalimantan Timur.

Dalam perkembangannya berdiri dua kerajaan Kutai, kerajaan Kutai Martadipura yang berdiri lebih dulu dengan rajanya Mulawarman, lalu berdiri pula belakangan kerajaan Kutai Kartanegara yang kemudian menaklukan Kerajaan Kutai Martadipura. Selanjutnya berubah nama menjadi kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura.

Jadi, makin jelas, bahwa peradaban suku bangsa di daerah ini demikian tinggi pada ratusan tahun silam.

Untuk memberi pemahaman tentang etnis di Kalimantan Timur, Wikipedia mencatat ada Suku Banjar: Balikpapan, Samarinda. Suku Kutai: Kutai Kartanegara, Kutai Timur, Kutai Barat.

Masih ada lagi kelompok masyarakat hukum adat Dayak yang jumlahnya sangat besar. Termasuk suku-suku dari luar Kalimantan seperti Suku Bugis, Suku Makassar,  Suku Mandar, Suku Jawa, Suku Madura dan Suku Tionghoa.

Penulis bersama gitaris Lam Him, di pelataran Museum Mulawarman. Foto | Dokpri
Penulis bersama gitaris Lam Him, di pelataran Museum Mulawarman. Foto | Dokpri
**

Presiden Joko Widodo telah menunjuk dua kabupaten di Kalimantan Timur sebagai calon ibu kota negara yang baru. Provinsi dengan luas 129 ribu km persegi tersebut berpenduduk 3,62 juta jiwa pada 2018.

Berdasarkan Hasil Survei Antar Sensus (SUPAS) 2015, sebanyak 2,56 juta jiwa atau 71% penduduk provinsi dengan ibu kota Samarinda tersebut merupakan penduduk usia produktif (15-64 tahun).

Sementara 897 ribu atau 25% masuk kategori penduduk usia belum produktif (0-4 tahun), dan 158 ribu atau sekitar 4% adalah penduduk usia sudah tidak produktif (65 tahun ke atas).

Penulis tak tahu persis komposisi jumlah penduduk berdasarkan etnis. Tetapi, dari realitas budaya yang ada, etnis-etnis di Kalimantan Timur mudah menerima budaya dari luar. Akulturasi budaya pun sudah berjalan secara alamiah. Itu bisa terlihat dari Tari Jepen yang merupakan kesenian budaya rakyat Suku Kutai Kartanegara. Tarian ini dipengaruhi oleh kebudayaan Melayu dan Islam yang kemudian berkembang di berbagai daerah di sepanjang pesisir Sungai Mahakam maupun di daerah pantai di Kalimantan Timur.

Hal yang membuat unik, Tari Jepen hampir sama dengan Kesenian tari dari daerah lain di nusantara, seperti Tari Zapin di Sumatera, tari Dana, tari Bedana atau tari Zevin yang semuanya berasal dari masyarakat suku Melayu yang tinggal tersebar di pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan pulau-pulau lain di Nusantara.

Museum Mulawarman, saksi bisu peradaban di Kalimantan Timur. Foto | Dokpri
Museum Mulawarman, saksi bisu peradaban di Kalimantan Timur. Foto | Dokpri
Tari Jepen biasanya diiringi oleh musik tradisi yang disebut Tingkilan, memiliki ciri khas ragam gerak yang tidak dimiliki oleh tari sejenis di daerah lain. Ragam gerak dalam tari Jepen dipengaruhi oleh kondisi dan letak geografis daerah Kutai.

Jika kita mau menggali tentang budaya di provinsi Kalimantan Timur, tercatat  Tari Gantar Rayatn, Tarian Serumpai, Tari Kancet Ledo (Tari Gong), Tari Gantar Busai, Tari Kancet Punan Letto, Tari Hudoq, Tari Burung Enggang, Tari Kancet Papatai (Tari Perang), Tari Belian Bawo, Tari Leleng, Tari Ngelewai, Tari Pecuk Kina, Tari Persembahan Kutai, Tari Topeng Kemindu, Tari Datun Julud.

Penulis tak menjelaskan satu per satu tentang tarian itu. Tetapi berkaca pada budaya yang ada, tentu kearifan lokal dalam pergaulan antaretnis, antarbangsa, warga di daerah ini sangat terbuka. Terlebih, jika kearifan lokal ikut dilestarikan.

Rasulullah, Nabi Muhammad SAW, ketika hijrah dari Makkah ke Madinah -- yang kemudian membangun peradaban baru -- sangat menghormati warga lokal, kaum Anshar. Selanjutnya kaum pendatang disebut Muhajirin.

Kita bisa berkaca pada perjuangan Rasulullah di Madinah untuk membangun kerukunan dengan membuat Piagam Madinah. Piagam ini kemudian dikenal sebagai Konstitusi Madinah. Ya, sebuah contoh dokumen yang disusun oleh Nabi Muhammad SAW. Dokumen tersebut merupakan suatu perjanjian formal antara dirinya dengan semua suku-suku dan kaum-kaum penting di Yasthrib (Madinah) pada tahun 622.

Dukumen tersebut bermaksud menghentikan pertentangan sengit antara Bani 'Aus dan Bani Khazraj di Madinah. Pada dokumen tersebut ditetapkan hak dan kewajiban bagi kaum Muslim, kaum Yahudi, dan komunitas-komunitas di Madinah. Ujungnya, membuat mereka menjadi suatu kesatuan komunitas, yang dalam bahasa Arab disebut ummah.

Bahan bacaan: berbagai sumber

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun