Saat itu Nabi sangat berharap para pemuka Quraisy masuk Islam. Tetapi, pembicaraannya terpotong oleh kedatangan Ibn Ummi Maktum, yang karena tidak dapat melihat tidak mengetahui situasi Nabi.
Setelah peristiwa itu, Nabi sangat menghormati Ibn Ummi Maktum. Tatkala sudah di Madinah, Nabi menunjuk Ibn Ummi Maktum menjadi muazin berdua dengan Bilal ibn Rabbah.
Pada Ramadhan, Bilal mengumandangkan azan pertama membangunkan kaum Muslimin untuk makan sahur dan Ibn Ummi Maktum pada azan kedua memberitahukan bahwa fajar sudah menyingsing, tanda puasa hari itu sudah dimulai.
Karena itu, Ahad kemarin (25/8/2019), ketika penulis berbicara mewakili keluarga besar almarhumah Hj. Sofni binti Buyung, di Masjid At-Taubah, pinggiran Jakarta, tepatnya Kampung Ceger, Cipayung, di hadapan jemaah shalat jenazah menyampaikan permintaan maaf.
Terima kasih telah hadir untuk ikut menyolatkan jenazah almarhumah. Mohon dibukakan pintu maaf sebesar-besarnya, baik kesalahan yang disengaja atau tak disengaja. Mohon pula, jika ada kaitan hutang dapat diselesaikan dengan anggota keluarga.
Demikian pesannya. Dan, sejatinya, pesan itu selalu disampaikan kala hendak mengantarkan jenazah ke pemakaman.
Kesalahan atau kekurangan adalah milik manusia. Kesempurnaan adalah milik Allah. Lantas, mengapa di antara kita masih ada menolak menyampaikan permintaan maaf antarsesama umat?
Rasulullah SAW telah memberi contoh. Ia berdiri ketika menyaksikan jenazah seorang yahudi digotong. Lalu, para sahabat memberi tahu dengan nada seolah protes, "Itu jenazah orang Yahudi."
"Bukankah ia juga manusia?" sahut Rasulullah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H