Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Memerdekakan Anak Miskin dan Bermasalah dari Kebodohan

16 Agustus 2019   17:47 Diperbarui: 16 Agustus 2019   17:49 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bapak Amir, sosok peduli pendidikan. Foto | Dokpri

"Di sini anak ondel-ondel pun ada," sambung ibu Amah, pengajar pada sekolah tersebut.

Maksudnya anak ondel-ondel, bukan berasal dari patung ondel-ondel. Tapi dari kalangan pengamen yang membawa boneka ondel-ondel beramai-ramai, lalu dua tiga orang pelakunya membawa patung ondel-ondel secara bergantian, memainkan musik dan meminta uang kepada orang sekitar.

Mengajar anak-anak bermasalah harus kuat. Kuat sabarnya karena jika tidak dihadapi dengan sabar mereka tidak akan mau belajar. Sudah datang saja kita harus memberi apresiasi.

Bapak Amir, sosok peduli pendidikan. Foto | Dokpri
Bapak Amir, sosok peduli pendidikan. Foto | Dokpri
Jadi, yang belajar di paket A bukan saja berasal dari anak yang orang tuanya tidak mampu (miskin), tetapi juga anak yang menjadi korban lantaran kedua orang tuanya berpisah. Kawin lagi. Anak tidak diurus. Anak menjadi korban narkoba. Wuih, persoalannya bejibun.

Dari fenomena anak miskin dan bermasalah itu, maka kita harus bersukur bahwa Pak Hidayat dan Ibu Amah mau mewakafkan hidupnya di lembaga Al-Amiria. KeunggulanOrangIndonesia seperti itu patut diapresiasi. Keduanya adalah sosok insan peduli pendidikan terhadap anak-anak yang memiliki beragam persoalan.

Patut disukuri bahwa dalam realitas kehidupan yang tengah menjurus kepada hedonisme masih hadir sosok-sosok tenaga pendidik anak miskin dan bermasalah.

Ustaz Amir, pendiri yayasan pendidikan Al-Amiria, mengakui tak salah jika tahun ini diangkat "SDM Unggul, Indonesia Maju" sebagai tajuk nasional peringatan HUT ke-74 RI. Hal ini perlu disadari bahwa mengatasi kebodohan di negeri ini tak bisa sepenuhnya diserahkan kepada orang tua dan pemerintah.

Untuk urusan pendidikan, semua pemangku kepentingan (stakeholder) harus ambil bagian.  Mengingat lagi, ke depan, Indonesia sebagai negara besar mendapat bonus demografi selama rentang waktu 2020-2035, dan puncaknya pada 2030. Selama terjadi bonus demografi, komposisi penduduk Indonesia akan didominasi oleh kelompok usia produktif sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi. Maka dari itu, kita harus siap.

Dari realitas yang ada, nah disini peran pendidikan ikut menentukan keberhasilan anugrah demografi itu. Peduli pendidikan anak adalah tanggung jawab bersama. Tentu saja termasuk di dalamnya mendidik anak miskin dan bermasalah. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun