Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

PLTN Jadi Pilihan Potensial untuk Kebutuhan Listrik Ibu Kota Negara

8 Agustus 2019   18:45 Diperbarui: 8 Agustus 2019   18:48 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memetik pelajaran padamnya aliran listrik di Jakarta dan seantaro wilayah di Pulau Jawa, para pakar dari berbagai institusi sudah waktunya mematangkan perencanaan pengadaan energi dengan memanfaatkan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) untuk ibu kota negara yang baru di Pulau Kalimantan.

Pemadaman listirk massal atau blackout yang melanda kawasan Jakarta dan sekitarnya pada Minggu (4/8/2019) lalu sangat menyakitkan. Peristiwa ini  membawa dampak besar tidak hanya mengancam sistem pertahanan negara juga meluluhlantakan perekonomian.

Blackout ini bukan pertama kalinya terjadi di Jakarta. Sebelumnya, Jakarta dan sekitarnya juga pernah mengalami kejadian serupa beberapa tahun lalu (1997 dan 2002).

Terkait rencana pemindahan ibu kota negara, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah memberi lampu hijau bahwa ibu kota negara akan pindah ke Pulau Kalimantan. Namun titik lokasinya masih dalam pembahasan pihak pemangku kepentingan, dalam hal ini Bappenas dan institusi lainnya. Presiden sendiri pernah mengecek lahan di Kalimantan Timur dan Kalimatan Tengah.

Meski Presiden RI Joko Widodo telah mengunjungi kawasan Bukit Soeharto di Kecamatan Semboja, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Selasa (7/5/2019), tidak berarti wilayah ini secepatnya ditetapkan sebagai bakal calon ibu kota pengganti Jakarta.

Demikian juga ketika Jokowi mengunjungi Palangkaraya. Ketika bertandang ke wilayah ini, Jokowi menyebut Kabupaten Gunung Mas, Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng), paling siap untuk dijadikan Ibu Kota baru jika dilihat dari sisi keluasan wilayah.

"Mau minta 300.000 hektar siap di sini, kurang masih tambah lagi juga siap," kata Jokowi kepada wartawan di Kabupaten Gunung Mas, Rabu (8/5/2019.

Ketika berkunjung ke Bukit Soeharto atau juga populer dengan nama Taman Hutan Raya Bukit Soeharto di Kalimantan Timur, luas 61.850 hektar, disebut juga wilayah itu siap untuk dijadikan ibu kota negara. Tepatnya, berlokasi di taman hutan rakyat di dua kabupaten, yaitu Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kabupaten Penajam Paser Utara.

Jadi, hingga kini, dari dua lokasi yang ditinjau itu, belum dipilih atau ditetapkan sebagai tempat ibu kota negara yang baru. Terpenting, mumpung kesiapan pemindahan ibu kota negara itu rampung, para pakar lingkungan dan penyedia energi perlu melakukan sinergi guna mematangkan ketersediaan listrik bagi ibu kota yang baru.

Pemindahan ibu kota ke luar Pulau Jawa adalah sebuah keharusan. Alasannya, seperti disebut Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro dalam berbagai kesempatan, dimaksudkan untuk: 

  1. Mengurangi beban Jakarta dan Jabotabek
  2. Mendorong pemerataan pembangunan ke wilayah Indonesia bagian timur
  3. Mengubah mindset pembangunan dari Jawa Centris menjadi Indonesia Centris
  4. Memiliki ibu kota negara yang merepresentasikan identitas bangsa, kebinekaan dan penghayatan terhadap Pancasila
  5. Meningkatkan pengelolaan pemerintahan pusat yang efisien dan efektif
  6. Memiliki Ibu kota yang menerapkan konsep smart, green, and beautiful city untuk meningkatkan kemampuan daya saing (competitiveness) secara regional maupun internasional.

Wacana pemindahan ibukota dari tahun ke tahun. Foto | Tempo
Wacana pemindahan ibukota dari tahun ke tahun. Foto | Tempo
**

Pandangan penulis, setiap pemilihan mengandung resiko dengan keunggulan dan kelemahan yang sudah diperhitungkan. Demikian halnya pemindahan ibu kota ke Pulau Kalimantan punya kekurangan dan kelebihan. Tentu saja plus dan minusnya sudah digodok tim kajian Nawa Cita. Misalnya persoalan kabut, ketersediaan air bersih dan lahan gambut.

Namun ada satu hal yang menjadi keunggulan pemindahan ibu kota ke pulau tersebut. Yaitu ketersediaan pasokan bahan baku untuk energi listrik berupa uranium. Kajian penggunaan uranium untuk listrik sudah lama dilakukan, hanya saja langkah tersebut dibutuhkan keberanian dari berbagai pihak.

Analisis pemindahan ibukota oleh tim Nawa Cita. Foto | CNBC
Analisis pemindahan ibukota oleh tim Nawa Cita. Foto | CNBC
Pertanyaannya, jika itu menjadi unggulannya, seberapa besar potensi uranium yang dimiliki?

Catatan penulis, ketika bertugas sebagai jurnalis di Pontianak, data yang didapat bahwa  Provinsi Kalimantan Barat memiliki kandungan mineral radioaktif Uranium dengan nilai sedikitnya 25 ribu ton.

"Hingga Mei 2014, terdapat 25.436 ton U3O8 di Kalan. Belum di Melawi dan Kapuas Hulu," ungkap Kepala Bidang Eksplorasi Pusat Pengembangan Geologi Nuklir Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) Dr Ngadenin Hadisuwito di Pontianak, beberapa tahun silam.

Angka tersebut terdiri dari 1.608 ton kategori terukur, 6.456 ton terindikasi, 2.648 ton kategori tereka dan 14.727 ton hipotetik. Penyelidikan umum keberadaan mineral Uranium di Kalimantan, lanjut dia, telah dimulai pada 1970 di wilayah sekitar 266.000 Km2 bekerja sama dengan CEA Prancis.

Dilanjutkan tahap eksplorasi pada 1974 yang difokuskan pada daerah Kalan dan Melawi-Mahakam sekitar 30.000 Km2 hingga 1977.

Dari beberapa sektor potensial di Kalan, sekitar Eko-Remaja merupakan sektor yang paling potensial, sehingga dibuatlah terowongan eksplorasi untuk mengetahui jumlah sumber daya Uranium kategori terukur pada Januari 1981-Agustus 1991.

Bijih Uranium di sekitar Eko-Remaja berupa lempengan-lempengan dengan panjang dan lebar mencapai puluhan meter dengan tebal sentimetrik hingga metrik yang saling sejajar memotong bukit Eko-Remaja.

Selain di Kalan, Batan juga menyelidiki daerah lainnya seperti di desa Rangkung dan Pangkalan Batu, Kecamatan Rangkung yang selain Uranium, ditemukan juga mineral radioaktif Kalium dan Thorium.

 "Thorium ini penting, karena merupakan sumber energi nuklir utama di masa depan karena memiliki banyak keunggulan dibanding Uranium seperti kelimpahan hingga lima kali lipat," tuturnya.

 Di Kalbar, Thorium terdapat pada mineral monasit yang dikenali keberadaannya bersama Zirkon, Ilmenit dan mineral berat lainnya pada endapan plaser sungai atau pantai, seperti di Kabupaten Ketapang, Nanga Tayap, Tumbang Titi dan Marau.

Sejatinya, seperti pernah disebut Kepala Batan Dr Djarot Wisnubroto, Uranium di Indonesia sedikitnya mencapai 60 ribu ton dengan wilayah potensial seperti Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur, Bangka Belitung, Sulawesi Barat dan Papua. Namun penambangan mineral radioaktif tak dapat dilakukan secara komersial karena tak ada peraturan yang membolehkannya.

Sementara itu Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi telah memetakan delapan lokasi di Provinsi Kalimantan Barat yang cocok untuk pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN).

Ada delapan titik daerah yaitu dari Kabupaten Sambas sampai ke Kabupaten Ketapang. Kementerian ini akan segera memilih salah satu titik sesuai dengan cost and benefit. Terpenting, kajian yang mencakup geografis, lokasi dan keamanan serta lingkungan sedang dimatangkan. Harapannya, dalam pembangunan PLTN nanti itu semuanya aman.

Peneliti Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), Prof Yohannes Sardjono belum lama ini mengakui bahwa rootmap pembangunan PLTN di Kalbar sudah disusun dari 2019 -- 2024. Kini tinggal melakukan aksi dari perencanaan yang telah dilakukan selama ini.

Terkait hal itu, Rektor Universitas Tanjungpura, Prof Dr Thamrin Usman DEA belum lama ini mengeluarkan pernyataan bahwa Indonesia harus berani membangun reaktor nuklir untuk kelistrikan dan sektor kemanusiaan lainnya.

Alasannya, bahan bakar minyak dan batubara, rawan terjadi gonjang-ganjing harga, lantaran sangat ditentukan harga internasional. Sumber energi yang paling murah adalah energi nuklir.

Semua negara industri besar di dunia ini menggunakan energi nuklir. Mereka bisa menjadi negara besar karena menggunakan energi nuklir. Karena memang murah ini.  

Memang harus diakui bahwa penggunaan energi nuklir masih mematik banyak perdebatan, terutama soal keamanannya. Namun, di era teknologi yang semakin canggih sekarang ini, faktor keamanan bukan lagi menjadi isu yang seharusnya dipertentangkan. Apalagi, banyak pulau di Indonesia yang tidak rawan gempa, salah satu ancaman reaktor nuklir.   

Realitasnya memang pembangkit listrik dengan fosil kedepan akan berkurang dan harganya pasti akan mahal. Batu bara, minyak dan gas kedepan pasti makin mahal. Dengan PLTN kita akan memiliki daya saing.

Pengembangan nuklir untuk listrik memang sudah seharusnya dilakukan di Indonesia. Daerah yang masuk kriteria adalah Kalimantan Barat. Dan berkaca dari perisitiwa di balik padam listrik, Gubernur Kalimatnan Barat Sutarmidji mendukung pembangunan reaktor nuklir untuk memenuhi kebutuhan warga di Pulau Kalimantan, termasuk untuk ibu kota negara yang baru.

Indonesia tergolong terlambat untuk membangun industri nuklir. Badan Tenaga Atom Nasional itu dibangun pada tahun 1960-an. Sedangkan rencana untuk bangun reaktor sudah sejak 1972. Banyak negara mengakui bahwa Indonesia bisa. Tetapi kendalanya, sekali lagi, memang ada pada keberanian kita.

Sumber bacaan satu dan dua

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun