Terkait itu, seperti dikutip dari Kompas.com, Direktur Pengadaan Strategis II PLN Djoko Rahardjo Abumanan, menyebut, diperlukan dana ganti rugi sebesar Rp 839,88 miliar kepada 21,9 juta pelanggannya akibat mati listrik yang terjadi pada Minggu (4/8/2019) lalu.
Itu perhtungan pihak PLN. Tapi ada kelompok masyarakat yang mengajukan class action bahwa PLN harus membayar sebesar Rp313 triliun, belum termasuk kerugian immaterial.
Lantaran kejadian tersebut merupakan kesalahan perseroan dan bukan tanggung jawab negara, sangat logis PLN memberi kompensasi.
Pada diskusi memang terdengar kabar bahwa  PLN harus melakukan efisiensi untuk bisa membayarkan ganti rugi kepada pelanggan. Salah satunya dengan memangkas gaji karyawan. Pasalnya, dengan besaran nilai ganti rugi tersebut, keuangan PLN berpotensi negatif.
Tapi, konsumen tidak mau tahu. Pihak PLN harus memberi kompensasi misalnya harus membebaskan pelanggan untuk jangka waktu tertentu. Bisa sebulan atau dua bulan. Bukan hanya karyawan yang dipotong gajinya, pihak PLN harus mengumumkan gaji direksi juga diotong hingga 50 persen.
Coba perhatikan. Ketika pegawai toko di sebuah swalayan memacahkan barang berupa gelas, ia harus mengganti. Itu karena kesalahannya.
Demikian halnya PLN, harus memberi kompensasi meski disadari bahwa aturannya belum ada, apakah dalam bentuk Peraturan Menteri ESDM atau lainnya. Realitasnya, masyarakat telah dirugikan. Jajaran manajemen PLN tidak bisa lagi bekerja seperti tempo doeloe, saat warga butuh aliran listrik harus mengeluarkan "fulus".
Kini, listrik sudah menjadi kebutuhan dasar manusia. Tanpa listrik, warga sulit mendapatkan air bersih. Tanpa listrik, pergerakan orang terganggu. Tanpa listrik, Â pertahanan negara ikut terancam.Â
Jadi, melihat realitas kekinian, PLN sebagai institusi pelayanan kepada publik, tak bisa lagi mengambil posisi sebagai raja yang harus dilayani. Tetapi PLN sudah harus menjadikan pelanggannya sebagai raja yang harus dilayani dengan baik.