Beberapa tahun silam rekan penulis yang baru dipindahkan dari daerah ke kantor pusat berhadapan dengan pihak penegak hukum karena berdasarkan pengaduan dan laporan kepada pihak manajemen jelas-jelas terbukti melakukan perbuatan asusila.
Pihak kepolisian menindaklanjuti laporan manajemen. Laporan bukan datang dari satu atau dua orang korban, tetapi hingga lebih dari lima orang melaporkan perbuatan pelaku yang kemudian disebut sebagai perbuatan pelecehan.
Penulis menaruh hormat kepada pihak manajemen karena demikian cepat mengambil tindakan. Namun yang manarik dari kasus itu adalah prilaku yang merendahkan martabat perempuan.
Penulis sebut namanya si Pulan, bukan nama sebenarnya. Ketika dipindahkan ke kantor pusat, ia punya gaya berbeda dengan para pegawai lainnya. Tampil necis, dan sering menebar senyum ramah.
Namun ketika berada di ruang kerja, ia seperti seorang raja. Maklum, ia punya jabatan dan patut mendapat hak dilayani anak buah meski hal itu tak perlu.
Nah, dengan kelebihan yang dimilikinya itu, Pulan berbuat semaunya. Ia tak mengindahkan hak perempuan untuk dihormati. Mungkin lantaran dirinya tengah berada di "atas roda", ia berbuat semaunya. Buntutnya, ia berurusan dengan pihak kepolisian.
Selanjutnya Pulan menjalani hukuman dan dipecat dari kantornya.
**
Lelaki yang tengah memegang jabatan, kedudukan tinggi dan gaji menggembirakan sering lupa diri. Bahkan tampilan necis di hadapan publik seperti dibuat-buat. Jauh dari sikap wajar.
Sikap berlebihan si Pulan tadi, di kalangan para ahli jiwa dapat dimaknai bahwa yang bersangkutan tengah menghadapi ketidak-seimbangan kepribadian. Ia kemudian berperilaku sebagai seorang penggede, penguasa dan cenderung berlaku semena-mena.