Dalam kehidupan keseharian, kerap dijumpai kasus lelaki yang ingin menjalani kehidupan poligami sering memanfaatkan kalimat berbuat adil. Sayangnya itu hanya sebatas di bibir.
Ini biasanya terjadi pada lelaki yang memiliki kecukupan uang, kaya dan mapan. Dengan kekayaan melimpah, lelaki bersangkutan memandang wanita seperti dapat "dibeli". Apalagi bila lelaki bersangkutan berstatus sosial tinggi di tengah masyarakat. Untuk melakukan nikah, kapan dan di mana pun dapat diatur dan dilakukan.
Yang bersangkutan merasa mudah mengatur orang-orang guna menyelesaikan persyaratan perkawinan. Dokumen perizinan dari istri pertama hingga ketiga, misalnya, bisa diperoleh dengan cara pemalsuan. Penghulu bisa diakali dengan iming-iming bayaran tinggi. Maaf, pelaku yang berkeinginan hidup dengan wanita lebih dari tiga justru datang dari kalangan orang terpandang dan memiliki pemahaman agama yang bagus.
Penulis pernah mendapati di salah satu KUA Pulo Gadung yang mendapat "tekanan" untuk segera menikahkan seorang terpandang dengan waktu dan tempat yang sudah ditentukan. Yang bersangkutan ingin punya istri ketiga. Kala dimintai kelengkapan dokumen, yang bersangkutan menyebut akan melengkapinya seusai akan nikah. Artinya, dokumen segera menyusul mengingat undangan sudah tersebar ke berbagai pihak.
Permintaan ditolak dengan alasan dokumen pendukung tidak ada. Terjadi "kehebohan" karena pihak penghulu bertahan dengan berpegang pada aturan, sedang pihak yang sudah ngebet nikah dan hidup berpoligami merasa berhak dinikahkan. Begitulah, ketika syahwat lelaki menguasai dan melumpuhkan akal sehat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H