Ketika mengemasi pakaian, pakaian istri dan penulis disatukan. Kopernya sih tidak terlalu besar. Beratnya setelah ditimbang di meja boarding mencapai 8 kg.
Setelah proses mendapatkan pas boarding usai, koper ditimbang. Pihak petugas meminta penulis agar koper tak dibawa ke kabin, masuk bagasi dan membayar uang Rp300.000.
Kaget. Penulis protes. Lalu koper beratnya dikurangi dengan harapan bisa mencapai 7 kg. Sesuai aturan maskapai itu, berat barang yang boleh masuk bagasi 7 kg. Lebih dari itu, harus masuk bagasi dan dikenai bayaran per kg Rp37.000.
Setelah koper dibongkar dan beratnya dikurangi menjadi 7 kg, pihak petugas tak kalah gesit. Ia mencegah penulis sebelum melangkah ke ruang tunggu. Koper dicek ukurannya. Ternyata lebih dari 1 cm panjangnya. Karena itu, koper harus masuk bagasi dan dikenai biaya.
Setiap barang masuk bagasi mulai nol hingga berat berapa pun dikenai biaya. Nah, ketika barang masuk bagasi, hak 7 kg barang masuk kabin menjadi hilang.
Tidak ada toleransi misalnya berat barang masuk bagasi dikurangi barang bawaan yang masuk ke kabin. Semua barang masuk bagasi dihitung mulai nol.
**
Pantas saja ruang kabin sesak. Beruntung penumpang yang masuk ke badan pesawat lebih awal, karena dapat menempatkan bagasinya lebih cepat. Bagi penumpang yang masuk belakangan, ya tentu saja kerepotan. Tak bisa lagi menempatkan barang di kabin tepat sesuai nomor tempat duduk.
Pengamatan penulis, hampir semua penumpang yang masuk belakangan 'celingukan' mencari pramugari untuk dimintai bantuan. Maksudnya agar barang bawaannya segera ditempatkan.
Akibatnya, hingga kini, antrean dalam proses mendapatkan boarding pas selalu panjang dan membutuhkan waktu lama meski jumlah meja pelayanan dibuka semua.