Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Makhluk Gaib dalam Pusaran Politik

13 Mei 2019   23:51 Diperbarui: 13 Mei 2019   23:58 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi, Andri Arief dan Setan Gundul. Foto | Serambi Indonesia

Genderuwo, Tuyul dan Setan Gundul adalah mahluk gaib yang diyakini memang ada, meski tak berwujud tetap saja menarik dalam perpolitikan selama Pilpres berlangsung.

Dan, sebutan mahluk tersebut kerap hadir sebagai "kekuatan" pemikat perhatian publik. Dalam komunikasi politik, nama-nama mahluk gaib tersebut dipakai  sebagai wujud untuk menggambarkan,  memburukan dan menjatuhkan pihak lawannya.

Kampret dan Kecebong juga menjadi bagian untuk memisahkan kubu 02 Prabowo Subianto - Sandiaga S Uno dan kubu 01 Jowo Widodo - KH Ma'ruf Amin. Entah dari mana asal usul hadirnya sebutan Kampret dan Kecebong.

Selama Ramadan, perang kata-kata di media sosial antara Kampret dan Kecebong sedikit rada berkurang. Tensinya cenderung turun, kuat dugaan lantaran Komisi Pemilihan Umum (KPU) makin dekat mengumumkan hasil perhitungan suara, yang diagendakan pada 22 Mei 2019.

Bisa jadi pula lantaran sebagian elite politik sudah mendengar perolehan hasil perhitungan sementara dan merasa gembira dapat kursi lagi.

Namun bila menoleh ke belakangan, kubu 02 - sesuai dengan realitas yang ada, makin berkurang soliditasnya. Partai Demokrat dan Partai Amanat Nasional (PAN) mulai memberi sinyal meninggalkan koalisinya dan merapat ke kubu 01, Jokowi.

Kubu 02 sejak awal pembentukan koalisi memang diwarnai suara tidak bulat. Kerap diwarnai masalah. Hadirnya sebutan jenderal kardus adalah salah satu potret kubu ini terbentuk setengah hati. Kesepatan yang dibangun bagai oncom mengambang di atas permukaan air, ketika disentuh "buyar".

Nah, bagamana dengan mahluk gaib dalam politik yang hingga bulan Ramadan ini masih jadi instrumen politik. Penulis masih bergembira meski mahluk gaib "dilibatkan" dalam politik kita, tetapi Abu Jahal dan Abu Lahab tidak diikutkan.

Tokoh jahat punya perilaku dekat dengan setan dan tercatat dalam kisah kitab suci agama, oleh elite politik belum diangkat untuk memberi gambaran buruk dalam rangka menjatuhkan pihak lawan karena perbedaan dukungan politik.

Partai surga dan neraka yang diangkat tokoh reformasi Amien Rais, belakangan ini, juga mulai tak terdengar lagi. Seolah habis dibakar oleh kekuatan bulan Ramadan. Sang tokohnya diam meski itu bukan berarti sebagai isyarat perang melawan Setan Gundul yang digaungkan Andi Arief (Demokrat) sudah berakhir. Sang tokoh masih punya amunisi dan tak kehabisan akal dengan jurus lain.

Dalam dunia persilatan, pendekar kan tak kenal menyerah di hadapan para muridnya, kan?

Apa bentuknya? Boleh jadi Setan Alas akan menjadi bentuk perlawanan ketidaksukaan terhadap Partai Demokrat. Biasanya, itu baru muncul saat momentum yang dianggapnya tepat.

Setan Gundul, Genderuwo dan Tuyul dalam perpolitikan akan berperan signifikan menjelang KPU mengumumkan hasil perhitungan suara. Penggalangan dan mobilisasi massa nampaknya mulai "lunglai" di tengah jalan.

Para biang keroknya yang "kebelet" membikin onar - menurut pandangan aparat keamanan - sudah kehilangan panggung. Aparat kepolisian memang tak ingin kecolongan sebelum "hujan datang". Eggi Sudjana dan Kivlan Zen yang "getol" menyuarakan ketidakpercayaan kepada hasil kerja KPU telah dipanggil pihak berwajib.

Tapi, itu juga tidak berarti Setan Gundul, Genderuwo dan Tuyul menghentikan kegiatannya selama di bulan suci Ramadan. Perlawanan dalam bentuk "letupan kecil" pasti ada. Untuk itulah pihak kepolisian menarik sejumlah aparatnya dari daerah untuk ditempatkan di Jakarta sebagai langkah antisipasi.

Mengapa bisa meletup?

Sebab, mahluk gaib yang disebut tadi sudah menjelma dalam diri pada orang-orang yang tamak kekuasaan. Mencela dan memfintah sudah jadi gambaran keseharian di tengah tontonan publik yang makin dewasa dan cerdas.

Jika kita mau merenung dan meluangkan waktu sedikit tentang hakikat mencela pihak lain, hal itu tidak menjamin ia lebih baik kondisinya dari orang lain.

Karena itu, mumpung masih di bulan Ramadan, sungguh elok menghindari saling cela satu sama lain. Saling olok, saling ejek, menghina tidak patut dilakukan.

Yakinlah hukum Allah dan sejarah pun telah mencatatnya bahwa orang yang tadinya kaya bisa jadi mendadak hilang hartanya. Orang yang punya jabatan tinggi, bisa lengser seketika karena tersangkut korupsi. Tak pandang ia seorang menteri, keturunan begawan atau ulama sekalipun. Orang yang tadinya mulia kedudukannya, bisa jadi masyarakat merendahkannya.

Sungguh, tidak pantas seseorang merasa jumawa, merasa dirinya lebih baik dari orang lain sehingga mencela dan merendahkan sudaranya sendiri. Sadarlah mahluk gaib ketika ikut dalam pusaran politik bisa membawa manusia ke lembah nista.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun