Gembira sekali jika pemerintah memindahkan ibukota negara dari Jakarta ke Pulau Kalimantan. Â Jika rencana tersebut direalisasikan di pulau dengan sebutan lainnya Borneo itu, sudah pasti akan dijumpai plus dan minusnya. Tapi itu tidak terlalu dirisaukan.
Dan sebagai warga Betawi, tentu harus ikhlas. Di sini 'minusnya', karena saat hari kemerdekaan RI nanti tak lagi dapat mendengarkan dentuman meriam detik-detik Proklamasi di Istana Negara secara langsung.
Acara itu tidak dapat lagi dinikmati secara langsung karena perayaan kemerdekaan sudah digelar di ibukota RI yang baru. Mau lihat secara langsung, ongkosnya mahal, hehehe maklum sudah jauh. Â Tapi masih bisa toh melihatnya dari layar televisi.
Itu sekedar kata pembuka kata saja. Dan, sungguh baru kali ini pemerintah terlihat "serius" berkeinginan memindahkan ibukota ke provinsi di luar Pulau Jawa. Padahal, sesungghnya, wacana pemindahan ibukota Jakarta -- seperti banyak pihak ketahui -- pernah mencuat ketika Presiden Seoharto berkuasa. Lokasinya di kawasan Jonggol, Jawa Barat.
Kala itu, sontak, nyaris penulis tertipu oleh para juragan tanah. Untuk menghindari tipu muslihat makelar tanah, penulis menyebut hanya mau membeli sepengki tanah. Bukan berhektar-hektar. Â Hehehe...
Soalnya, saat itu, ketika ada rencana pemindahan ibukota Jakarta diangkat ke media massa, ramai orang membeli tanah dalam ukuran "wah", pemukiman perumahan di sana berkembang. Belum lagi pembangunan infrastruktur giat dilaksanakan tanpa memperhatikan kualitas.
Nah, tergiur kemungkinan dapat meraih keuntungan, banyak orang tertipu para juragan tanah kagetan di daerah itu. Ujungnya, proyek pemindahan ibukota Jakarta batal menyusul jatuhnya rejim pemerintahan otoriter saat itu.
Masih soal pemindahan ibukota Jakarta pada zaman SBY, atau Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkuasa. Kuat santer tekat SBY untuk memindahkan ibukota ke daerah lain menyusul terjadinya banjir besar di Jakarta. Seingat penulis, SBY berembug dengan para pembantunya dan ingin memindahkannya.
Sayang, rencana Pak SBY saat itu tak mendapat respon kuat dari masyarakat. Â Bahkan dilupakan begitu saja ketika banjir di Jakarta menyusut bersamaan dengan datangnya kemarau.
Jauh sebelum negeri ini berusia tua, atau tepatnya ketika baru berdiri, Presiden Ir. H. Soekarno, sudah melontarkan gagasan agar ibukota negara dipindah ke Palangkaraya. Gagasan cemerlang bapak proklamator itu dimaksudkan bahwa ibukota negara harus berada di lokasi posisi tengah negara. Dengan begitu, aktivitas pemerintahan dapat memberi dampak positif bagi seluruh wilayah.
Di zaman kolonial pun ada wacana pemindahan ibukota Jakarta ke daerah lain. Tapi, entahlah rencana itu juga cuma sekedar wacana.
Seperti diwartakan, Menteri Pembangunan Nasional dan Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengusulkan tiga kategori wilayah untuk pemindahan ibu kota. Yaitu, tetap di Jakarta tetapi dengan kriteria memiliki distrik khusus pemerintahan di pusat kota, memindahkan ibu kota di sekitar Jakarta dengan jarak 50-70 kilometer, atau memindahkan ibu kota ke luar Pulau Jawa.
Dari ketiga katagori wilayah yang disampaikan itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memilih opsi usulan ketiga dari kriteria yang disampaikan Kepala Bappenas. Yaitu, memindahkan ibu kota ke luar Pulau Jawa. Â
Nampaknya Jokowi lebih tertarik ke Pulau Kalimantan. Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah baru-baru ini dikunjunginya. Presiden dalam kunjungannya itu kembali ingin menunjukan keseriusannya. Ia pun berharap masyarakat turut memberi dukungan mengingat kota Jakarta sebagai pusat bisnis dan pemerintahan dewasa ini sudah tidak memadai lagi.
Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro, menyampaikan  bahwa rencana itu pemindahan ibukota itu sangat diperlukan dengan alasan-alasan,  yakni:
- Mengurangi beban Jakarta dan Jabotabek
- Mendorong pemerataan pembangunan ke wilayah Indonesia bagian timur
- Mengubah mindset pembangunan dari Jawa Centris menjadi Indonesia Centris
- Memiliki ibu kota negara yang merepresentasikan identitas bangsa, kebinekaan dan penghayatan terhadap Pancasila
- Meningkatkan pengelolaan pemerintahan pusat yang efisien dan efektif
- Memiliki Ibu kota yang menerapkan konsep smart, green, and beautiful city untuk meningkatkan kemampuan daya saing (competitiveness) secara regional maupun internasional.
Meski Presiden RI Joko Widodo telah mengunjungi kawasan Bukit Soeharto di Kecamatan Semboja, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Selasa (7/5/2019), tidak berarti wilayah ini secepatnya ditetapkan sebagai bakal calon ibukota pengganti Jakarta.
Demikian juga ketika Jokowi mengunjungi Palangkaraya. Ketika bertandang ke wilayah ini, Jokowi menyebut Kabupaten Gunung Mas, Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng), paling siap untuk dijadikan Ibu Kota baru jika dilihat dari sisi keluasan wilayah.
"Mau minta 300.000 hektar siap di sini, kurang masih tambah lagi juga siap," kata Jokowi kepada wartawan di Kabupaten Gunung Mas, Rabu (8/5/2019.
Ketika berkunjung ke Bukit Soeharto atau juga populer dengan nama Taman Hutan Raya Bukit Soeharto di Kalimantan Timur memiliki luas 61.850 hektar, disebut juga wilayah itu siap untuk dijadikan ibukota negara. Tepatnya, berlokasi di taman hutan rakyat di dua kabupaten, yaitu Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kabupaten Penajam Paser Utara.
**
Pandangan penulis, sebagai warga yang pernah bekerja di Pulau Kalimantan dan sering berkeliling di pulau tersebut, tanpa bermaksud menggurui tim ahli yang kini tengah bekerja, ada beberapa catatan kelebihan bila ibukota negara pindah ke wilayah tersebut.
Plus dan minusnya sudah dapat dilihat dari tim kajian Nawa Cita. Persoalan kabut dan lahan gambut secara teknis bisa diatasi. Tapi ada satu hal yang sejak lama tersembunyi namun sejatinya dapat menjadi daya dukung tangguh bagi Indonesia ke depan bila ibukota pindah di pulau tersebut.
Apa itu?
Yaitu ketersediaan sumber energi murah berupa material uranium yang bila dikelola dengan baik cukup sampai 100 tahun ke depan. Bahkan lebih.
Sudah lama empat gubernur di Kalimantan punya niat membangun pembangkut listrik tenaga nuklir. Â Sayangnya, selalu gagal karena berbagai alasan. Salah satunya adalah faktor keselamatan meski dari sisi teknologi Indonesia sudah menguasai.
Energi murah adalah salah satu kunci kemajuan bangsa meski hal itu tidak selalu berasal dari tenaga nuklir. Ketika Indonesia berencana membangun pembangkit tenaga nuklir, selalu saja ada pihak berteriak dengan berbagai alasan.
Moga-moga rencana mulia ini terealisir. Â Salam NKRI.
Sumber bacaan satu dan dua
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H