Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Puaslah Prabowo, Politik Belah Bambu dan Belah Durian Telah Dimainkan

14 April 2019   12:12 Diperbarui: 14 April 2019   12:24 6351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Prabowo saat debat kelima. Foto | Antara

 

Mulutmu adalah harimaumu. Pribahasa ini dimaksudkan agar setiap orang dalam bergaul harus hati-hati. Kapan dan dimanapun ia berada. Karena itu, kata yang meluncur dari mulut harus dikontrol, diawasi dan dijaga agar di kemudian hari tidak menjadi 'bumerang' bagi diri sendiri.

Lantaran mulut tidak dijaga, bisa jadi membikin rekan sejalan, rekan seperjuangan dan rekan makan sepiring terluka.  Karena ketiadaan kontrol, - bagai orang tengah mabuk, - maka sangat dimungkinkan kata tidak senonoh pun bisa berhamburan.

Karena itu, orang bijak pula sering mengatakan bahwa lidah itu memang tidak bertulang. Manusia memang tempat kesalahan lantaran sangat mudah berbohong/mengumbar janji. Bahkan bisa disebut bicara yang bersangkutan tidak bisa dipegang.

Pada Debat Pilpres 2019, yang belakangan lebih populer disebut sebagai debat pamungkas, dua pasangan calon presiden Jokowi -- KH Ma'ruf Amin dengan lawannya Prabowo Subianto -- Sandiaga S Uno, ternyata ada sisi lain yang patut menjadi perhatian terkait soal mulut asem.

Apa itu?

Yaitu, peristiwa teriak-teriaknya Sekretaris Divisi Advokasi dan Hukum Partai Demokrat Ardy Mbalembout di lobi Hotel Sultan, Sabtu (13/4/2019).

Untung saja ada Ketua Divisi Advokasi dan Bantuan Hukum Partai Demokrat Ferdinand Hutahaean. Ia berhasil menenangkan Ardy yang berteriak minta agar partainya keluar dari koalisi 02 Prabowo.

Siapa yang tak kenal Ferdinand, yang wajahnya sering 'nongol' kala acara debat pendukung di layar televisi ini. Ia terlihat "all out" membela Prabowo di berbagai kesempatan.

Ardy berteriak minta agar partainya keluar dari koalisi 02 tak lama setelah Prabowo menyalahkan presiden-presiden sebelum Joko Widodo terkait kegagalan perekonomian negara. Presiden sebelum Jokowi itu, bisa saja yang dimaksud Prabowo adalah Soekarno,  Soeharto,  BJ Habibie. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Mereka dianggap gagal dalam mengelola ekonomi negeri ini.

Nah, kembali ke soal Ardy.  Ia dengan nada keras mengatakan: "Bila perlu kita keluar dari koalisi. Gue Ardy Mbalembout. Kalau perlu kita keluar dari koalisi. Saya Sekretaris Divisi Advokasi dan Bantuan Hukum Partai Demokrat," ujar Ardy sebagaimana dikutip Kompas.com.

Sebelumnya, melalui REPORTASEPEMILU2019 pada debat tersebut, Prabowo menyebut perekonomian Indonesia saat ini keluar dari jalur. Ia menilai berdasarkan Pasal 33 UUD 1945, perekonomian Indonesia semestinya dapat menyejahterakan masyarakat Indonesia.

"Saya tidak menyalahkan Bapak, ini kesalahan besar presiden-presiden sebelum Bapak. Kita semua harus bertanggung jawab. Bener. Itu pendapat saya," tutur Prabowo.

Penulis tak ingin membahas materi debat kedua pasangan calon presiden itu. Hal ini sudah banyak dibahas pasca debat di layar televisi. Justru peristiwa Ardy Mbalembout yang luput dari perhatian perlu dipahami publik.

Ardy berteriak minta keluar dari koalisi 02 saat debat tengah berlangsung, sungguh hal tersebut merupakan bagian dari kekecewaan terhadap pimpinan koalisi 02, Prabowo Subianto. Ucapan Prabowo itu dirasakan telah mencederai pimpinan partainya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Seolah hasil kerja keras SBY dipandang 'nihil'.

Kalau dibalik pertanyaannya, Prabowo sudah berbuat apa bagi negara? Baru berkontribusi bagi pembangunan desa, ia sudah 'ngagul'. Ia memiliki jasa besar ketika masih menjadi ketua kerukunan tani.  Pernyataan 'ngagul' itu bisa juga dimaknai sebagai ria atau sombong/angkuh.

Nah, lepas dari soal membanggakan diri dari debat itu, kita patut bertanya, apakah pernyataan Ardy itu keluar secara spontan, tanpa sengaja atau mewakili rekan-rekan koalisinya.

Tapi, yang jelas, pimpinan partai koalisi Prabowo kecewa bahkan merasa telah dilukai hatinya dengan pernyataan Prabowo itu yang menyebut kesalahan perekonomian bangsa ini juga atas kesalahan presiden-presiden sebelumnya. 

Untung saja, Megawati Soekarnoputri dan pimpinan partai pendukung koalisi 02 cukup bijaksana. Mereka tidak keluar dari ruang debat, apa lagi melancarkan protes. Namun dibalik itu bisa saja hati mereka merasa dilukainya. Publik yang cerdas bisa menilai. Mengapa? Karena kala memerintah negeri ini, para presiden itu dinilainya tidak mampu berbuat sesuatu.

Probowo, untuk kepentingan politiknya, sadar atau tidak, realitasnya telah memainkan politik belah bambu dan belah durian. Coba perhatikan, pada debat terakhir, ia menyalahkan para presiden sebelumnya dalam mengelola negara untuk menarik simpati rakyat. Muaranya, itu dimaksudkan untuk mendulang suara pemilih pada 17 April 2019 nanti.

Ia menginjak belahan bambu. Satu bagian diangkat dengan tangan ke atas, bagian lain diinjak dengan kakinya di bawah. Makin kuat mengangkat belahan bambu ke atas, kaki semakin kuat pula menginjak belahan bambu lainnya ke bawah. Orang yang tengah diangkat dipuji, yang lain diinjak. Tidak dipakai dan tidak dihormati lagi.

Begitu juga kala ia mengangkat sejumlah menteri kabinet bayangan, mengumumkan orang-orang terbaik bagaikan tengah membelah durian. Kita tahu, kala durian dibelah, aromanya menyebar ke arah sekitarnya. Harum. Kita pun ketika melihat tekstur durian kadang "ngiler". Harumnya menambah minat untuk menyantap. Apa lagi dijanjikan sebuah kursi jabatan tinggi.

Bagi yang pernah makan durian tapi tak pernah membelah durian sesungguhnya, dapat dipastikan ia belum memahami seni indahnya menikmati buah ini. Wuih, aromanya menyembar hidung seketika.

Dalam dunia persilatan politik, tahukah anda, bahwa belah durian dapat dimaknai sebagai bujuk rayu semata. Nampaknya indah dan 'wangi', tak tahunya hanya sebuah utopia dalam permainan politik yang dimainkan sang dalang. 

Sosok Prabowo memang dipenuhi misteri, seperti diungkap Astried Requentillo, pembaca kartu terot. Kini patut direnungkan. Maukah anda berada dalam alam utopia, seperti pada orde baru, rakyat 'akar rumput' dininabobokan dengan permainan judi legal berupa SDSB, Porkas dan huawei. Ketika itu, rakyat yang hidup di kawasan kumuh dan gang sempit tanpa penerangan listrik, nyaman memikirkan judi setiap waktu.   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun