Ketika seorang laki-laki datang melamar wanita, maka wali wajib meminta persetujuan dari si wanita. Orang tua tidak boleh mengambil keputusan sendiri tanpa izin dari anaknya.
Kalimat di atas sungguh harus diindahkan. Kalimat tersebut bukan lagi hiasan bibir tetapi wajib dijalankan. Otoritas anak (perempuan) demikian besar terhadap haknya untuk menentukan pilihan pujaan hati. Sebab, merekalah yang akan mengarungi bahtera perjalanan hidup. Bak lautan luas, tentu secara fisik dan mental, mereka sudah siap mengarunginya.
Kalimat di atas juga berlaku bagi janda atau duda. Tentu saja persetujuan tersebut juga harus keluar dari sang janda setelah meminta persetujuan orang tua atau anggota keluarga (tertua). Hak seorang janda untuk menikah juga sama.
Penulis tak bermaksud menyinggung orang yang pernah nikah (janda/dua), tapi hanya ingin mengangkat prihal prosesi lamaran (khitbah) Â jejaka dan gadis.
Persetujuan anak demikian penting, mengingat lagi, dalam perkawinan tak boleh perempuan dipaksa seperti dalam kisah Sitti Nurbaya dan Datuk Maringgih (Kisah Tak Sampai), sebuah novel karya Marah Rusli. Novel ini kala penulis masih duduk di bangku sekolah lanjutan pertama menjadi buku wajib yang dibaca. Karena sering dibaca ulang, penulis merasa iba terhadap Syamsul Bahri, kekasih Sitti. Kala berkunjung ke Bukittinggi, penulis kadang ingat Datuk Maringgih dan rasanya ingin meninjunya. Hehehe... sabar bro.
Sabtu ini, 6 April 2019, penulis mendapat kehormatan untuk menghadiri sebuah lamaran. Usai shalat Subuh, penulis sudah meluncur ke kediaman sang pria yang akan ikut bersama rombongan melamar seorang gadis pujaannya di kawasan pinggiran kota Berkasi. Tepatnya, Kelurahan Jatiluhur, Jatiasih, Bekasi.
Wuih, penulis berusaha tampil keren mengenakan kemeja batik hadiah dari isteri tercinta. Lantas, di kediaman calon pengantin pria ini, penulis bersama isteri dan beberapa anggota keluarga berkumpul. Sang tuan rumah paham betul bahwa seluruh anggota keluarga yang berkumpul tersebut telah berjuang all out dari kediamanya melawan kemacetan menuju lokasi titik kumpul.
Meski hari Sabtu adalah libur rutin kantor, tetapi bukan berarti adat kemacetan di sejumlah ruas jalan pinggir Jakarta rada berkurang. Tapi, justru pada Sabtu, sejumlah kawasan pemukiman di pinggir Jakarta menunjukan watak aslinya.